3 Juni 2015, Kota Bogor genap berusia 533 tahun. Dalam usia yang sudah cukup tua ini, kota hujan ini butuh sentuhan khusus. Dalam dua tahun kepempimpinannya, Wali Kota Bima Arya Sugiarto selalu mendorong lima aksi kerja nyata dalam mewujudkan Kota Bogor menuju lebih baik.
Lima aksi itu adalah penataan angkutan kota dan prasarana lalu lintas untuk mengurangi kemacetan, penataan pedagang asongan untuk mengurangi kesemrawutan, pengelolaan sampah untuk menjamin kebersihan, mengoptimalkan sejumlah taman untuk keindahan, dan memperbaiki layanan publik.
Untuk hal-hal tersebut, Bima Arya mengatakan harus berani dan siap tidak populer. Pria 42 tahun ini menguraikan kemacetan berdasarkan rasio kemacetan data Dinas Lalu Lintas Angkutan dan Jalan. Pada kenyataannya, laju rata-rata kendaraan di Kota Bogor melamban. Pada 2012, laju kendaraan 14.5 kilometer per jam, selanjutnya pada 2013, 9.5 kilometer per jam, dan pada 2017 diprediksi nol alias tidak berjalan saking padat dan macet.
Ada tiga lokasi macet parah yang harus segera ditangani yakni Pasar Bogor, Jembatan Merah-Stasiun Bogor, dan Jalan KH Sholeh Iskandar (Jalan Baru). Melihat kesemrawutan tersebut, pada penghujung 2014, Bima mengeluarkan wacana larangan kendaraan berpelat B berjalan di Kota Bogor saat akhir pekan dan musim libur. Pada akhirnya wacana tersebut mendapatkan tanggapan “meriah”, dari pendukung ataupun yang menolak di media massa dan jejaring sosial.
Bukan tanpa alasan Bima mengeluarkan wacana tersebut yang akhirnya dibatalkan. Pada hari biasa, diperkirakan kendaraan yang lalulalang di Kota Bogor sekitar 50.000 unit, ditambah rata-rata 100.000 orang pelancong menjejali kota seluas 11.850 hektare. Di Bogor, ada 770 kilometer jaringan jalan.
Dua tahun terakhir, Bima memutuskan jumlah ideal angkot. Armada yang saat ini mencapai 3.500 unit akan dipangkas, trayeknya ditata, halte dibangun, sopir diseleksi, dan penegakan hukum lalu lintas. Pemkot sudah meminta angkot untuk berbadan hukum. Dari 3.500 unit tersebut, akan ditampung dalam 30 koperasi angkutan. “Saat ini sudah ada 30 badan usaha angkutan. Dari 14 halte, Pemkot sudah menambah lima unit, di Jembatan Merah, depan sekolah Budi Mulia, Bubulak, Yasmin, dan di Sholeh Iskandar,” tutur Bima.
Untuk penataan pedagang kaki lima (PKL), lanjut Bima, ditempuh dengan menarik ke pasar yang sudah ada, pendataan lokasi dan pedagang yang harus dipindah, penyebaran pedagang agar tidak terkonsentrasi dan penertiban. “Urutannya ialah revitalisasi, relokasi, redistribusi, dan represif. Urutannya tidak boleh dibalik,” tegas Bima.
Pemkot Bogor sudah menyediakan lahan bagi PKL pasca penggusuran di MA Salmun, Pasar Anyar. Ada 1.500 PKL yang dapat menempati Pasar Jambu Dua, Pasar Kebon Kembang, dan Pasar De Pris. Kata dia, tindakan represif dalam jangka panjang diteruskan dan ditingkatkan menjadi seleksi. Artinya hanya pedagang ber-KTP Bogor yang akan diutamakan dalam berusaha.
Untuk kebersihan, mantan dosen Universitas Parahyangan Bandung ini mengatakan, sudah membangun 13 tempat sampah di satuan permukiman berikut mendorong manajemennya. Ia menginginkan warga bisa memilah sampah. Kemudian armada yakni truk, sepeda motor, dan gerobak akan membawa ke-13 unit sampah yang baru ada di 12 kecamatan. Selain itu, TPA Galuga di Kabupaten Bogor yang akan habis pada 2015 segera diperpanjang sementara Kota Bogor menentukan lokasi baru untuk pembangunan pabrik pengolahan sampah.
Terkait taman, dalam dua tahun terakhir sudah ada 32 taman aktif dan 168 taman pasif. Bima juga mempertimbangkan tidak akan meneruskan izin operasi gedung atau kompleks pada lahan milik pemerintah.
Yang terakhir adalah penataan birokrasi. Kebijakan wali kota kelahiran 17 Desember 1972 ini merotasi pejabat yang dianggap menghambat sudah dilakukan tiga kali dalam dua tahun masa kerjanya. Terakhir, Bima meroling semua staf hingga kepala di Dinas Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal, pasca tertangkap tangan calo perizinan Februari lalu.
Di mata Bima, pegawai negeri sipil adalah pengayom, untuk itu, dirinya juga mengeluarkan kebijakan Senin tanpa kendaraan bagi pegawai negeri sipil. Hal itu semata-mata juga untuk mengurangi tingkat kepadatan kendaraan pada awal pekan.
Bima menilai, makin banyak yang mencintai Bogor, makin bahagia kota ini. Bima yang baru 14 bulan menjabat ini menegaskan, Pemkot Bogor tidak akan mampu menata kota ini sendirian tanpa dukungan warga.
“Arti Bogoh ka Bogor atau cinta kepada Bogor sangat berarti bagi pembangunan Kota Bogor. Bekerja bersama-sama tentunya berbeda dengan bekerja sendiri-sendiri, untuk itu, tunjukkan rasa cintamu dengan membangun diri sendiri dan lingkungan sekitar,” dalam sambutan di Balai Kota, Bogor, Rabu (3/6).
Kota Pusaka
Sejak dicanangkan sebagai kota pusaka tahun lalu, Pemkot Bogor gencar mengadakan wacana mengenai budaya. Pemkot juga menggandeng budayawan Bogor untuk menyatukan visi membangun Kota Bogor tanpa meninggalkan budaya sebagai warisan nilai-nilai luhur sejarah.
Salah satu budayawan Bogor, Adenan Taufik tak pernah henti menyuarakan pentingnya Pemkot menggali budaya Bogor. Bahkan pria yang usianya mendekati 80 tahun ini yang sempat menerima anugerah budaya mengajukan wacana, menggali budaya mulai dari zaman megalitik.
“Mengapa penting kita menggali sejarah budaya sejak zaman megalitik, karena disana akan kita temukan nilai-nilai budaya yang luhur yang terus lestari hingga zaman Kerjaan Pajajaran,” kisah Adenan pada SP, Selasa (2/6).
“Sampurasun,” tutur Adenan, pada kala itu orang menyapa sesama entah saat bertamu atau berpapasan di jalan. Sampurasun bisa diartikan permisi mohon maaf secara halus. “Lalu orang yang disapa menjawan, ‘rampes’,” kata Adenan.
Rampes berarti tidak ada masalah, bersifat terbuka atau menyapa balik. Budaya itu di masa kepemimpinan Wali Kota Bogor Bima Arya kembali diterapkan melalui instansi Pemkot, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Bima beralasan, perubahan harus dimulai dari birokrat, lalu warga bisa mencontohnya. Kemudian digelindingkanlah program “Rebo Nyunda”, yakni setiap Rabu para PNS wajib berbahasa Sunda khas Bogor dan berpakaian adat Bogor, baju kampret dengan totopong ikat kepala, sedang PNS perempuan memakai kebaya. Namun program ini tak mulus. Akhir-akhir ini banyak PNS yang tak peduli dengan program itu.
Adenan bercerita, ia pernah berang saat salah satu PNS mengucap kata sampurasun dengan logat yang tak pantas. “Gayanya bercanda dan nadanya tinggi menyentak-nyentak pada kawannya, itu saya saksikan saat berada di sebuah pertemuan yang melibatkan unsur SKPD. Di situlah saya emosi. Itu melecehkan budaya Bogor,” katanya.
Berkaca dari zaman Pajajaran yang dipimpin Prabu Siliwangi, rakyat Pajajaran yang tinggal di Bogor hidup rukun, aman, dan tentram. “Kata sampurasun dilontarkan secara halus bersahabat dan penuh etika. Begitu pun dengan rampes, diucapkan dengan nada yang santun. Kita mesitnya bisa belajar dari masa Pajajaran, karena itulah identitas Bogor yang sesungguhnya, berahlak dan beretika,” jelas dia.
Wacan tentang menggali sejarah budaya terus berkembang. BUkan hanya perilaku yang dituntut jadi esensi perubahan utama identitas, bangunan-bangunan pun ditahbiskan agar jangan dipugar atau dibongkar meninggalkan sejarahnya.
(Vento S/Bernard W/Herjamjam)