Pada setiap jengkal jalan salib Yesus, Ia mewariskan kepada kita panduan menjalani kehidupan.
Jalan salib memiliki kekayaan luar biasa untuk terus dihayati dan tidak pernah habis dipetik hikmahnya. Pada 2016 silam ketika menelusuri rute jalan salib di Pertapaan Karmel Lembang, saya mencoba membayangkan situasi pada setiap perhentian dan menyelami sikap Yesus sebagai Anak Manusia. Perjalanan salib Yesus mewakili setiap pergumulan hidup manusia dan sikap Yesus dalam menjalaninya sungguh-sungguh teladan sikap hidup, paket panduan hidup yang tak akan punah oleh zaman. Salah satu warisan Yesus yang sungguh relevan untuk dipraktikkan dalam hidup sehari-hari. Anda pun saya yakin mampu memetik hikmah jalan salib Anda pribadi dan menjadikannya pedoman hidup.
Pada malam sebelum memulai jalan salib-Nya, Yesus berdoa di Taman Getsemani. Kita tidak tahu persisnya doa yang diucapkan Yesus pada saat itu, tetapi momen sakral ini mengingatkan kita, lagi dan lagi, untuk berdoa sebelum memulai pekerjaan, tugas, dan tanggung jawab. Doa menguatkan dan menyanggupkan kita, terutama pada masa-masa kebimbangan dalam mengambil keputusan. Bahkan doa membawa ketenangan dan pengendalian emosi. Ingatkah sikap Yesus yang meredam kemarahan Petrus kepada para serdadu di taman itu?
Perhentian pertama jalan salib, Yesus dijatuhi hukuman mati. Dituduh, difitnah melakukan kesalahan, disalahartikan, tetapi Yesus tidak membantah. Disudutkan dengan pertanyaan, “Apa Engkau Raja orang Yahudi? Apakah Engkau Mesias, Anak Allah?” Sebagian teks menyebutkan bahwa Yesus menjawab benar, sebagian lain mencatat jawaban Yesus, ”Engkau telah mengatakannya.” Yesus membiarkan orang lain menemukan pemahamannya sendiri, Ia tidak menggurui atau menyombongkan diri. Meredam ego, apalagi saat berkonflik, sangat tidak mudah, tetapi Yesus menunjukkan sikap untuk tidak menantang balik, untuk memberi ruang bagi pemahaman orang lain.
Perhentian kedua, Yesus memanggul salib. Salib kayu yang berat itu diserahkan juga kepada Yesus. Dengan memanggul salib, Ia meneladankan kepada kita sikap siap dalam memikul tugas, amanat, dan tanggung jawab.
Perhentian ketiga, Yesus jatuh untuk pertama kali. Dari momen jatuh pertama kali ini, kita bisa meneladani sikap Yesus ketika menemui kesulitan atau kejatuhan, Ia tetap bangun dan meneruskan perjalanan.
Perhentian keempat, Yesus berjumpa dengan Ibu-Nya. Relasi Yesus sangat dekat dengan Bunda Maria, mengingatkan kita akan adanya pribadi-pribadi yang tetap mendoakan, mendukung, dan percaya pada perjuangan kita. Melalui mereka juga kita merasakan kasih Allah.
Perhentian kelima, Yesus ditolong Simon dari Kirene. Berapa banyak dari kita yang mau menerima bantuan orang lain? Mungkin pertanyaan ini dirasa aneh, karena berpikir tidak mungkin ada orang yang tidak mau dibantu. Tetapi, benarkah demikian? Atau lebih banyak ego diri yang tidak ingin terlihat lemah, yang merasa paling mampu, sehingga menolak dibantu ketika jatuh? Yesus sebaliknya, mengajarkan kerendahan hati untuk mau dibantu orang lain, tidak angkuh ataupun sombong.
Perhentian keenam, Wajah Yesus diusap oleh Veronika. Setelahnya, gambaran wajah-Nya melekat pada kain hingga waktu yang sangat lama sehingga bisa dilihat banyak orang, bahkan berabad-abad setelahnya. Masih saja Yesus memberikan sukacita meskipun Ia terluka dan kelelahan. Ia meneladankan kepada kita untuk menampilkan wajah Allah yang penuh cinta, lembut, dan ramah, meskipun sedang mengalami kesulitan dan kelelahan.
Perhentian ketujuh, Yesus jatuh untuk kedua kalinya. Kalau dalam berjuang dan berusaha, kita sampai jatuh kedua kali, kejatuhan ini mau mengatakan bahwa perjuangan ini memang berat. Sulit. Pernah jatuh atau gagal satu kali, itu lumrah, tidak perlu dipandang berlebihan. Jatuh atau gagal kedua kali, kita diminta untuk tetap setia, selama kita tahu bahwa jalan yang ditempuh ini benar seturut kehendak Allah.
Perhentian kedelapan, Yesus menghibur perempuan-perempuan yang menangisi-Nya. Adakah kita mau tetap menghibur dan memperhatikan orang lain, meskipun sedang berada dalam kesulitan dan kelelahan? Bukan maksudnya berpura-pura baik, tetapi memiliki stok Kasih yang tak putus-putus dari Bapa di dalam diri, sehingga Kasih Bapa-lah yang memampukan kita membawa penghiburan.
Perhentian kesembilan, Yesus jatuh untuk ketiga kalinya. Jatuh sampai tiga kali, bukan untuk membuat kita berhenti, melepas, dan berpaling. Berkaca pada Yesus, membuat kita paham bahwa perjuangan dan tanggung jawab yang sedang diemban sungguh perlu dijalani hingga tuntas.
Perhentian kesepuluh, Pakaian Yesus ditanggalkan. Yesus dipuja dengan berbagai penghormatan dari manusia, namun tidak membuat-Nya perlu mempertahankan “pakaian” kehormatan tersebut. Menjumpai Allah tidak memerlukan atribut atau predikat kepintaran, kekayaan, jabatan, kekuasaan, dsb, melainkan hanya perlu menjadi apa adanya.
Perhentian kesebelas, Yesus disalibkan. Tanpa menolak, Yesus dipaku di kayu salib. Ketika hidup kita mau tak mau diikat pada beban, tanggung jawab, sakit penyakit, pada saat itu yang dibutuhkan adalah berserah kepada Allah. Ingatkah juga bahwa Ia memaafkan mereka yang menganiaya-Nya? Semoga kita, meskipun berada pada titik terendah hidup, mau dan bisa memaafkan.
Perhentian kedua belas, Yesus wafat di salib. Membuat kita hanya bisa hening, menghayati kehendak Bapa melalui hidup dan matinya Yesus, dan kelak kebangkitan-Nya. Tak pernah cukup nalar ini untuk memahami. Yesus sedemikian taat kepada Bapa, sampai titik penghabisan. Ia memberikan contoh: totalitas memenuhi panggilan hidup. Kesediaan berkorban, memberi hidup bagi sesama.
(Mia Marissa)