Anda di sini
Beranda > Mutiara Biblika > Mbah Mitro Petani Sayuran

Mbah Mitro Petani Sayuran

Loading

Setiap orang mempunyai rasa yang melekat dalam hidupnya. Rasa ini adalah sebuah anugerah yang Allah berikan kepada manusia. Melalui rasa manusia ditempatkan menjadi makluk yang utama diantara segala makluk, ditambah lagi manusia mengenakan akal budi sebagai pemilah, sekaligus wasit bagaimana rasa itu harus digunakan. Setidaknya akal budi juga ikut berperan didalamnya. Baik rasa maupun akal budi ada serentak dalam diri manusia. Hal ini semakin menjadi berkembang ketika manusia bisa menggunakan dengan baik dan benar, sebab bagi orang gila keduanya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Selama manusia ada dalam rasa, manusia akan selalu bergulat untuk memaknai semua yang dirasakan dalam hidup. Lebih tepatnya, rasa selalu membalut kehidupan manusia dalam segala keadaan, baik suka maupun duka. Rasa ini menjadi sebuah lembaran manusia yang bisa digunakan sebagai sarana membalut tali persaudaraan dalam hidup ini sehingga membuat orang dalam situasi kenyamanan. Demikian juga alam diciptakan Allah dengan penuh cita rasa. Keagungan Allah dapat dirasakan melalui karya ciptaanNya. Keindahan, kebaikan, keserasian, dan  kedamaian adalah atribut Allah yang ditampilkan di dalam dunia ini, demikian kiranya orang bijak menyebutnya. Itu semua bisa kita rasakan.

Ketika kita menggenakan dan merasakan atribut itu maka dengan dengan sendirinya Allah hadir dalam diri kita. Dalam Perjanjian Lama, yakni Kejadian 1:26 “Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Teks ini menegaskan bahwa manusia adalah Gambaran Allah, Imago Dei, yakni sebuah keselarasan yang mengenakan atribut Allah dalam hidup ini.  Allah telah memilih manusia sebagai gambarannya, ini berarti manusia mempunyai kualitas yang lebih dibandingkan ciptaan lain.

Gambaran Allah itu melekat dalam diri manusia selama hidup di dunia itu. Manusia harus menampilkan atribut keallahan itu di dalam kehidupan sehari-hari. Namun sering kali manusia kehilangan rasa sehingga, atribut Allah dalam dirinya tidak lagi bermakna. Melihat dunia yang semakin tidak karuan ini, nampaknya gambaran Allah itu mulai luntur, bahkan bisa jadi mulai hilang. Manusia mempunyai rasa dan akal budi, harusnya keduanya mampu menyelaraskan dan mampu menjaga keindahan, kebaikan, kedamaian dsb. Namun ketika cipta rasa itu hilang, nampaknya gambaran Allah itu juga ikut luntur didalamnya.

Teks ini seperti mengganggu pikiran saya, kenapa terjadi kebencian, kenapa terjadi pembunuhan antarsesama, kenapa terjadi kericuhan ketika kita mengenakan atribut Allah itu. Demikian situasi itu mengusik. Keterusikan diri saya ini membawa saya untuk merenung seorang diri. Maka kuambil ontel kuno dan pergi tanpa tujuan. Dengan mengayuh sepeda rasanya baban itu mulai luntur sejalan tetesan keringat yang mengucur dari badan. Satu jam saya naik sepeda tiba di sebuah perkampungan yang sangat subur. Di sana ada petani yang sedang memanam sayur-sayuran. Dan di sebuah gubuk ada seorang kakek yang sedang istirahat seraya merokok. Ketika melewati tempat itu, saya permisi numpang duduk.

“Kek, permisi,” seru Paijo

“Oh, silakan nak, ayo istirahat dulu di gubuk,” jawab sang kakek itu.

“Iya, kek, terima kasih,” sahut Paijo duduk di hadapan kakek.

“Kisanak itu siapa?” tanya kakek seraya menyodorkan minum air teh yang dibawa dari rumah.

“Saya Paijo, saya dari dusun jauh sana,” jawab Paijo pendek

“Oh, nak Paijo. Nak Paijo itu mau kemana?” tanya kakek

“Iya Kek, saya ini hanya main saja, naik sepeda biar hidup penuh pencerahan,” sahut Paijo seraya minum teh yang diberikan tadi.

“OH, begitu. Ya sudah sekarang temani kakek minum, ini ada makan hasil kebun. Mari kita santap bersama,” seru kakek.

“Gak usah kek, itu untuk kakek yang sedang kerja berat, kalau saya masih muda jadi masih tahan lapar,” seru Paijo

“Nak Paijo, hidup itu tidak pernah ada kurang atau tidak ada lebih, semua telah diatur oleh Allah sendiri. Jadi unsur membagi itu adalah wujud dari belas kasih Allah sendiri. Coba nak Paijo lihat burung itu. Setiap hari mencari makan, namun tiap hari hasil makannya selalu beda. Karena Allah telah menakar untuk hari itu. Jadi ketika sekarang kakek harus membagi, ya berarti itu takaran kakek hari ini harus segitu,” seru kakek.

“Wah, hebat juga pehamaman kakek ini,” seru Paijo seraya kagum.

“Sudah mari makan dulu,” ajak kakek.

Kami pun makan bersama dengan kakek di gubuk dikelilingi sayuran yang sangat subur. Indah sekali rasanya, dingin suasananya, dan tenang tinggal di tempat itu. Kami makan tanpa banyak berkacakap. Setelah beberapa waktu, makanan itu ludes kami makan, nasi dengan lauk tempe dan sambel terasi. Makanan ala kadarnya, tetapi memberikan kepuasan yang luar biasa.

“Nak Paijo,” seru Kakek

“Ya, Kek,” jawab Paijo

“Nak Paijo Katolik,” tanya Kakek.

“Iya, kek. Saya katolik. Kok kakek tahu?” tanya Paijo

“Iya, saya melihat nak Paijo membuat tanda salib, itu pasti ornag katolik,” seru kakek

“Iya kek, saya sejak kecil jadi katolik. Jadi tanda salib sudah menjadi bagian dari hidup saya. Terutama mengawali segala aktivitas saya,” seru Paijo.

“Iya nak Paijo, kakek paham,” sahut kakek.

“Jaman dulu, kakek sering ketemu orang-orang asing, mereka adalah romo-romo, jadi saya ngerti katolik dari mereka. Bahkan dulu kakek sekolah di sekolah katolik, namun sekarang kakek tinggal di desa jauh dari keramian, kakek hanya seorang petani sayur. Atas dasar itu, Iman katolik saya pahami, karena saya diajarkan, namun saya belum sempat dibabtis, baru simpatisan,”seru kakek.

“Maaf Kek, nama kakek siapa?” tanya Paijo

“Nak, Paijo. Nama kakek adalah Mitro, orang kampung memanggil saya, Mbah Mitro,” sahut kakek.

“Iya, kek. Kakek tampak senang sekali menjadi petani sayuran, setiap hari melihat hamparan menghijau sayuran yang tidak pernah henti. Air mengalir dan mengairi tanaman kakek sehingga kakek ini menjadi penyalur berkah bagi sesama lewat sayuran ini,” seru Paijo.

“Nak Paijo, tananam ini adalah karya Allah. Kakek hanya merawatnya. Keindahan tanaman sayuran ini menunjukkan betapa indah sang Pencipta melebihi ciptaanya. Namun sering kali keindahan itu terganggu oleh hama atau binatang yang merusak tanaman itu. Kiranya itu juga gambaran hidup kita nak Paijo. Kita ini adalah gambaran Allah yang mempunyai rasa untuk selalu membangun relasi dengan alam ini. Jika kita merusak, berarti merusak alam, berarti merusak Allah sendiri,” jelas kakek Mitro.

“Wah, refleksi kakek dalam sekali,” sela Paijo

“Pendidikan saya di sekolah memberikan saya wawasan luar biasa nak Paijo. Sekalipun saya belum katolik, tetapi saya mengenyam pendidikan katolik. Jadi setidaknya ada sedikit yang nyantol dan saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari sekalipun kakek hanya seorang petani sayuran,” jelas kakek.

“Iya kek, saya sangat paham. Tadi sengaja saya jalan-jalan keliling itu ingin mencari pencerahan, kenapa jika kita itu gambaran Allah, manusia saling membenci, membunuh, bahkan tidak ada kedamaian?” tanya Paijo.

“Nak, Paijo. Sekali lagi lihatlah burung itu. Burung itu mencari makan cukup untuk hari itu, burung itu tidak pernah kuatir akan esok hari. Karena Allah pasti menyediakan. Beralih ke manusia, Manusia selalu kuatir, menumpuk harta, kurang puas mencari yang lain, hingga akhirnya manusia berbenturan dengan lainnya hanya ketidakpuasan. Situasi ini membuat iri yang akhirnya menimbulkan intrik kebencian. Di situlah asal muasal manusia jauh dari kedamaian,” jelas kakek

“Tetapi kenapa manusia selalu iri jika Allah telah memberikan sesuai porsinya,” sela Paijo.

“Itulah nak Paijo. Manusia selalu terbalut ketidakpuasaan. Burung-burung itu sekalipun rejekinya tidak sama, namun tetap bergembira bersama. Tidak saling membunuh, justru mereka berterbangan bersama. Demikian juga sayuran-sayuran cabai itu mempunyai buah yang berbeda, namun tidak pernah mengeluh karena Tuhan telah memberikan itu sesuai dengan kemampuannya,” jawab Kakek Mitro.

“Lalu kenapa kedamaian juga mulai luntur kek?” tanya Paijo

“Nak Paijo, selama manusia tidak pernah mau menghargai satu dengan yang lain, maka kedamaian tidak akan pernah ada. Sama seperti burung dan tananam itu, ketika mereka saling berebutan sumber kehidupan, maka mereka tidak akan bisa menghasilkan dengan baik. Mereka saling berbagi, mereka menerima. Sementara manusia selalu tidak pernah menerima perbedaan, maka muncul perselisihan. Nak Paijo, alam telah memberikan pelajaran kepada manusia. Kedamaian itu bisa tercapai jika saling menghargai dan tidak memaksa orang sama seperti kita. Tuhan telah menciptakan aneka ciptaan untuk saling melengkapi bukan menghancurkan,” jelas Paijo.

“Iya kek, sekarang saya tahu. Lunturnya atribut Allah dalam diri manusia, karena manusia menggantikan dengan atributnya sendiri, yakni egoisme. Semoga ini menjadi pembelajaran bagi saya ya kek,” sahut Paijo

“Baiklah nak Paijo. Mari kita petik sayur secukupnya,” ajak Kakek kepada Paijo

Kamipun dengan senang diajari bagaimana memetik sayuran yang benar, ada tomat, mentimun, cabai, dan sayuran lainnya, juga jagung. Setelah keranjang itu benuh, kami kembali ke gubuk itu.

“Nak Paijo, bawa ini sayuran untuk keluarga nak Paijo. Anggap saja ini sebagai hadiah pertemuan kita. Ingat cintailah alam dan keindahannya, maka nak Paijo juga akan mencintai Allah,” seru kakek Mitro.

“Wah, terima kasih kek, maaf saya tidak bisa memberikan apa-apa kepada kakek,” seru Paijo.

“Beri saya doa, selipkan nama saya dalam doa nak Paijo,” balas kakek sambil tersenyum.

“Baik, kek, saya sekalian pamitan. Saya telah mendapat jawaban yang saya cari, sekaligus mendapat sayuran dan makan siang gratis, heeee, terima kasih kek,” seru Paijo dengan senang hati.

Dengan hati gembira Paijo pulang seraya membawa sayuran dari kakek. Dalam perjalanan pulang Paijo teringat kambingnya belum dikasih makan, semoga Simbok memberikan makan. Jika belum berarti Simbok pasti akan marah. Seperti kakek mencintai tananam dan ciptaan Tuhan, maka saya harus mencintai kambing-kambing.

“Waduh masa jatuh cinta dengan kambing,” seru paijo dalam hati selama naik sepeda dengan tertawa geli.

Setelah berapa lama, sampailah Paijo ke rumah. Dari jauh sudah terdengar kambing mengembik dan Simbok sudah ada di beranda rumah, karena hari telah sore.

“Embek-embek,” terdengar suara kambing

Dalam hati saya berpikir,”Paijo, Paijo, kasih makan aku”.

“Ahhhh, dasar kambing,” seru Paijo dalam hati.

Sesampai depan rumah Simbok telah mananti dengan satu kalimat,”Jo, Paijo. Ditunggu, kambing-kambingmu”.

“Iya, mbok Simbok,” seru Paijo langsung ke belakang dan menaruh sayuran itu.

“Embek-embek,” seru kambing itu seakan manja ingin diperhatikan.

“Embek-embek, Paijo kemana wae to,” seru Paijo menirukan suara kambing sambil ngasih makan.

“Bing, Kambing, ditinggal bentar saja, dah ribut. Sekali-kali puasa,” seru Paijo.

Selesai kasih makan kambing Paijo mandi, seraya menyanyi Paijo bersendandung. Sanking senangnya Paijo kebentur tiang di kamar mandi.

“Embek-embek, enak Jo, Paijo.” Seru kambing itu serasa menghina Paijo heeeee.

(RD Jatmiko)

Leave a Reply

Top