Anda di sini
Beranda > Mutiara Biblika > Jadilah Berkah

Jadilah Berkah

Loading

           Pagi itu cuaca sangat bersahabat. Matahari bersinar cerah dari ufuk timur dan disambut dengan riuh ayam jantan berkokok. Binatang dan alam seakan menyambut hari baru itu dengan sukaria, ibarat seorang yang sedang terpesona dengan keindahan.
Gambaran alam desa itu memberikan sebuah gambaran Allah sendiri yang hadir, karena tidak bisa dilukiskan betapa mengaggumkan hamparan padi menghijau dengan terang sinar matahari yang cerah. Alam seakan bersorak gembira memuji keangungan Tuhan.
Pujiaan semaraknya alam terlihat dari soraknya hidup di kampung itu. Alam tidak henti-hentinya bersorak diwakili suara burung-burung yang berkicau dan ayam-ayam berkokok keluar dari kandang mencari makan.

              Kehidupan kampung itu sangat damai, tidak ada perselisihan satu dengan lainnya terkait isu apa pun. Mereka merasa bahwa bumi itu milik bersama dan harus dijaga bersama. Kerukunan kampung itu ibarat keserasian alam yang saling mengisi keindahan satu dengan lainnya. Satu dengan lainnya membalut keindahan yang menampilkan betapa dasyatnya sang pencipta. Rasanya hidup di kampung itu, hidup dalam sebuah taman firdus. Bumi menghasilkan apa saja yang dibutuhkan manusia tiada henti. Manusia hanya bisa bersyukur atas karunia itu dan memanjatkan doa kepada Tuhan atas anugerah alam yang indah dan subur itu.

            Pagi itu saya mengambil sepeda onthel pergi mengunjungi nenek Inem di kampung sebelah. Saya sendirian tanpa mengajak teman karena rasanya ingin mendengarkan petuah nenek Inem yang membuat hati ini serasa damai. Sekalipun nenek Inem itu menceritakan berulang-ulang, masih ada kerinduan untuk mendengarkan lagi. Cerita berulang-ulang didengar itu ibarah sebuah mantra yang semakin mantab ketika mantra itu diulang-ulang. Ibarat doa akan semakin mendalam ketika didoakan berulang-ulang. Demikian juganya cerita Nek Inem itu rasanya ingin kudengar lagi. Kehadiran Nek Inem ini seperti magnet yang menarik kehidupana saya unutk berkunjung dan mendengarkan.

            Perjalanan hari ini sangat melelahkan, namun terpacu semangat yang luar biasa kami tetap mengayuh sepeda onthel kuno peninggalan orang tua. Sepeda itu setia menemani ke mana saja saya pergi. Perjalanan itu membuat  rasa haus, apalagi sinar matahari mulai meninggi dan menyengat badan. Peluh mulai berjatuhan seraya sekaligus membasahi baju. Ketika mengusah peluh di kepala, sepeda masuk lubang dan saya terjatuh. Segera saya mencari tempat untuk berhenti. Kebetulan dari situ tidak jauh dengan pos ronda saya duduk sebentar mumpung pos itu sepi. Pos itu dipakai hanya pada waktu malam saja. Sejenak saya duduk sambil menghela napas seraya menahan sedikit sakit atas luka di lengan akibat jatuh, sekalian berharap siapa tahu ada yang ngasih minum. Namun, hari itu memang kurang beruntung, tidak seorang pun memberikan saya setengak air, sekalipun banyak orang lewat di situ. Setelah lelah mulai kurang, kuteruskan mengayuh sepeda menuju rumah nenek Inem.
“Nek, nenek Inem, saya datang,” seru Paijo setelah sampai di halaman nenek.
“Kreeeeeeek,” terdengar suara pintu terbuka.
“Ohhhhhh, nak Paijo,” ayo masuk ajak nek Inem kepada Paijo.
“Iya, nek terima kasih,” sahut Paijo.
“Kok sendirian, mana teman-teman yang pernah ke sini dengan nak Paijo?” tanya nek Inem.
“Wah, mereka tidak libur nek, jadi saya sendirian saja. Rasanya kangen ingin ketemu nenek. Jadi saya pergi sendiri saja tanpa memberi tahu mereka,” sahut Paijo.
“Oh, gitu. Ya sudah, sekarang nak Paijo ambil kepala di depan rumah, bisa dibuat minum biar tenaga kembali,” sahut nenek.
“Siap nek,” seru Paijo segera ke depan ambil kelapa muda dua biji seraya menahan sakit lengan tadi.
Kelapa saya kupas dan kami minum bersama dengan nenek. Rasanya minum kepala itu enak dan segar sekali. Rasanya sudah lama tidak minum dan kini minum air kelapa muda. Dahaga telah sirna dengan sebutir kelapa muda. Rumah nenek Inem ini seraya menjadi sumber kehidupan dan harapan baru.
“Nak, Paijo, kenapa tangannya berdarah?” tanya nenek Inem
“Iya, nek, tadi pas di jalan saya terpelesat dan jatuh. Saya berhenti sejenak di ronda pos, tetapi tidak ada seorang pun membantu. Makanya saya heran, kenapa kampung ini sudah mulai hilang rasa kemanusiaan. Tadi juga ada seorang ibu melihat saya, beliau hanya menyapa saja, lalu lewat,” jelas Paijo.
“Nak Paijo. Itulah dunia sekarang. Semakin hari manusia mulai muncul egoisme, rasa kemanusiaan mulai luntur dengan berbagai alasan. Manusia sekarang kurang mau mengulurkan tangan untuk sesama yang membutuhkan. Mereka lebih menekankan dirinya dulu baru orang lain. Memang itu kenyataan, kita mesti belajar akan perubahan pola hidup. Coba ini saya kasih obat dulu, biar lukanya tidak parah,” seru nenek Inem seraya memberikan obat dengan dedaunan yang saya sendiri tidak tahu.
“Iya nek, terima kasih,” seru Paijo.
“Ayo nak Paijo ambil singkong di belakang rumah dan kita masak bersama,” suruh nenek.
“Siap nek, laksanakan,” jawab Paijo dengan senang
Setelah beberapa menit saya membawa satu batang pohon, tetapi isinya sangat banyak. Jadi saya pikir sudah berlebihan makan segini unutk berdua. Nenek Inem pun mempersiapkan bumbu-bumbu dan saya mengupas singkong itu. Entah saya tidak tahu nenek mau masak apa dengan singkong ini. Ternyata nenek ingin membuat makanan dari singkong itu dicampur gula merah dan kelapa muda. Singkong itu diparut dan dicampur dengan gula merah kelapa muda dan garam. Setelah itu dibungkus daun pisan baru ditanak. Selama menanak kami duduk di dapur sambil ngomong sana-sini.

            “Nak Paijo. Tadi nak Paijo mencabut singkong satu batang dan isinya cukup banyak. Ini cukup untuk beberapa orang. Bisa jadi singkong berikutnya ketika ditanam menghasilkan buah yang berbeda sekalipun di tanam di tempat yang sama. Semua itu bergantung situasi tanah dan cara kita merawatnya. Demikian juga manusia itu juga mengalami perubahan, semua itu bergantung dari pengaruhnya. Sekalipun masih hidup di kampung bisa jadi berubah, demikian singkong itu di tenam di tempat yang sama bisa berubah,” jelas nenek.

            “Iya Nek,” sahut Paijo.
“Bukankan nak Paijo sebagai orang Katolik masih ingat, Lukas 10:5 ‘Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini.10:6 Dan jikalau di situ ada orang yang layak menerima damai sejahtera, maka salammu itu akan tinggal atasnya. Tetapi jika tidak, salammu itu kembali kepadamu’. Itulah ajaran yang sangat luar biasa, hal itu mesti kita yakini dan kita teladani,” kata nenek dengan bangga.
“Iya, nek. Saya mengerti,” jawab nenek.
“Jadi tidak perlu sedih, jika memang tidak diterima, atau tidak diperhatikan sekalipun kamu memang sedang membutuhkan bantuan. Tuhan akan selalu memberikan lewat lainnya,” jelas nenek Inem itu.
“Iya nek, hanya saya heran kenapa orang-orang sekarang betapa mudah berubah draktis,” sela Paijo.
“Nak Paijo. Kita tidak bisa menghakimi begitu. Mungkin mereka tidak menolong nak Paijo karena ada keperluan yang lebih penting dari pada itu. Demikian juga kenapa singkong itu hasilnya beda dengan tahun lalu, karena alam mempunyai mekanisme sendiri, kita tidak boleh memaksakan alam. Demikian juga kita tidak boleh memaksakan orang lain seperti yang kita inginkan. Jadi belajarlah menerima apa yang telah berikan Tuhan kepadamu. Jika orang menolak kita, itu berarti memang kita yang introspeksi, jangan-jangan cara kita salah. Memaksa tanah itu tetap subur, tetapi kita tidak pernah merawat dan memupuk tanah dengan baik,” seru nek Inem sambil sekali-kali membuka masakannya.
“Iya, nek, terima kasih atas nasihatnya,” seru Paijo seraya memeluk nenek itu dengan sangat senang, sekalipun bau kas orang deso.
“Nek, nenek. Saya bersyukur bisa ketemu nek Inem. Ada banyak pelajaran hidup yang bisa saya gali dan gunakan, semoga semakin hari saya bisa semakin memhami perubahan dunia ini. Bisa jadi tanaman kita ini subur, namun bisa jadi saatnya hancur jika menusia salah mengolah,” seru Paijo.
“Nak Paijo sudah paham yang nenek bicarakan. Wah raanya senang sekali. Rasanya nenek juga seperti ketemu cucu dan anak-anak saya yang sudah kembali lagi. Namun nenek menerima itu sebagai bagian dari kehidupan. Tuhan meniadakan yang lain, namun Tuhan memberikan yang lain pula, yakni nak Paijo,” seru nenek dengan rasa terharu ketika dipeluk Paijo walau keringat karena asap dapur mebasahi kami berdua.
“Iya, nek. Mari kita sekarang makan apa yang telah nenek masak, pasti enak,” seru Paijo untuk mengubah suasana.
Kami pun akhirnya kembali ke teras rumah depan sambil makan hasil kebon dan masakan nenek. Rasanya nikmat sekali. Tidak ada nasi, lauk dan sayur, namun ada makanan dari singkong bisa menggantikan. Jadi kita bisa beradaptasi dengan apapun yang ada. Tuhan selalu bisa memberikan gantinya kepada manusia demi sebuah kehidupan. Setelah jelang sore saya pun pamitan, dan tidak lupa nenek itu membawakan makanan itu untuk dibawa pulang.
“Nek, terima kasih atas pencerahanya ya,” seru Paijo
“Iya, hati-hati jangan sampai jatuh lagi, nanti tidak ada yang ngobati di jalan,” pesan nenek sambil tersenyum.
“Iya nek, makasih,” seru Paijo seraya melambaikan tangan mengayuh sepeda pulang.

(RD Nikasius Jatmiko)

Leave a Reply

Top