Lukas 1:38 Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Lalu malaikat itu meninggalkan dia.
Pagi itu sangat cerah menghiasi suasana kampung halaman. Matahari bersinar menyambut pagi indah. Alam ciptaan terlihat mempesona dan memanjakan mata. Hamparan padi menguning mengundang setiap orang untuk bercengkrama seraya selfi sehingga orang-orang semakin betah tinggal di kampung itu. Burung-burung pipit pun ikut bergembira di antara padi-padi yang menguning. Sebuah pemandang alam yang sangat memanjakan mata setiap orang di bulan Desember ini. Pemandangan indah juga ditampilkan dari kebun-kebun di samping rumah penduduk. Buah mangga bergelantungan menebarkan pesona tersendiri. Alam memberikan berkah melimpah kepada manusia.
“Kring, kring, kring,” terdengar suara bel sepeda hilir mudik. Anak-anak bermain-main di depan rumah dengan senang. Sepeda menemani mereka keliling kampung itu. Suara bunyi sepeda itu selalu mengingatkan masa kecil Paijo. “Kring, kring- kring,” adalah sapaan Menik dan Yanti mengajak bermain bersama. Namun, waktu terus bergulir dan mengubah suasana kampung itu. Simbok biasa sibuk mempersiapkan sesuatu menyambut natal, kini tinggal kenangan. Demikian juga suara deringan sepeda Menik dan Yanti juga tinggal kenangan. “Kring, kring, kring,” tetap terdengar, namun penumpang sudah berbeda.
Paijo kini hanya bisa menepi dalam kesunyian diiringi angan-angan suara kring, kring kring di setiap mimpi. Pesona keindahan alam itu belum bisa menyapu kenangan lama yang terukir indah bersama Simbok dan teman-teman kampung. Angan menjadi semakin liar manakala hembusan angin malam menghampiri di Desember. Hati tersayat ingin mengembalikan masa-masa kecil dulu. Sayang, kehidupan tidak bisa diulang sehingga semua kenangan hanyalah sebuah penjara yang sering kali menyiksa angan manusia. Lagu-lagu kuno dilantunkan belum bisa mengobati rasa rindu itu.
Waktu cepat berlalu, keindahan alam kini terkubur sementara oleh pekatnya malam. Malam membawa keheningan jiwa. Namun, samar-samar bulan mulai muncul di antar bintang-bintang. Malam pun ikut menghibur Paijo dengan pesona cahaya di langit. Hamparan kuning di sawah digantikan hamparan sinar bulan. Pekatnya malam tergusur dengan bintang-bintang dan bulan itu. Paijo bermandikan cahaya bulan dan bintang di beranda rumahnya. Demikian juga, kesepian Paijo digusur dengan sebuah hamparan langit yang indah dengan iringan musik dari binatang malam. Alam memberikan pesona keindahan pada manusia siang dan malam.
Di dalam keheningan malam itu, Paijo menatap bintang di langit seraya merasakan betapa indahnya karya Tuhan. Alam semesta menyedot sanubari untuk bersatu dalam pelukannya. Keindahan yang tidak ada taranya. Gemerlapan bintang itu menghantarkan angan Paijo mendengarkan seruan para malaikat menyambut sang Imanuel. Paijo serasa mendengarkan paduan malaikat, “Gloria In Excelsis Deo”. Nyanyian yang terus menggema dalam hati Paijo di malam itu dengan melihat bintang yang berhamburan. Keheningan itu bukan menjadi keterasingan, justru keheningan itu menghantarkan suara hati mendengarkan paduan suara Malaikat.
Gegap gempita pujian malaikat itu menghantarkan angan Paijo hingga dalam mimpinya di beranda rumah. Paijo ternyata tidur terlelap dibawa angan-angan itu. Semua peristiwa indahnya alam itu terjadi karena Maria bersedia membuka pintu hatinya. Keheningan membuka sebuah harapan baru saat Maria menerima tugas mulia itu. Maria menghadirkan semua angan-angan itu kembali hadir dalam perayaan natal. Semua orang bergembira dan terpesona terhadap peristiwa agung itu. Alam pun ikut bersorak gembira dan malaikat mewartakan kabar suka cita itu hingga manusia bisa menerimanya. Semua itu terjadi karena Maria merelakan diri menjadi perantara rahmat agung itu. Semarak natal itu seperti semarak pujian malaikat yang menyerukan Gloria in Exelsis Deo. Terdengar suara terompet malaikat menggelegar di angkasa disambut dengan alam raya. Paijo pun terbawa pesona indahnya mimpi di beranda rumah depan.
“Tettttttt, Kringggg, Kringgggg,” terdengar suara bunyi terompet dan sepeda. Paijo pun kaget dan melompat dari tidurnya. Ia pun sadar bahwa semalam ia tidur di beranda rumah depan saat menikmati pesona langit.
“Teeee, Teeeeettt,” terdengar suara terompet keras lagi.
“Ahhhhhhh,” seru Paijo sambil tersenyum dan mengusap mukanya yang baru bangun tidur. Ternyata suara terompet keras itu bukan dari suara malaikat yang ada dalam angan-angan mimpinya, melainkan suara Menik dan Yanti. Mereka pulang liburan Natal untuk menghibur sobatnya, sekaligus pergi ke makam Simbok yang sudah lagi bisa natalan bersama.
“Jooooo, Paijoooo,” bangunnnn. Ini sudah siang,” Seru Yanti seraya meniup terompetnya
“Heeee, Iya,” seru Paijo sambil tertawa malu menuju ke kamar mandi.
“Joooo, Paijo. Ayo bangun dari mimpi, hadapi hidup dengan sukacita. Ingat Maria telah memberi contoh kepada kita,” seru Menik.
“OKKK,” seru Paijo seraya meninggalkan kedua sobatnya ke kamar mandi. Sementara Menik dan Yanti mempersiapkan diri untuk masak untuk hari itu.
“Joooo, Paijo, dasar wong deso. Jangan banyak berangan-angan. Ayo bangun dari tidur dan bekerja,” seru Paijo dalam hati seraya mandi.
“Embekkkkk, Embekkkk,” kambing pun seakan menyetujui itu.
Penulis: RD Nikasius Jatmiko | Editor: Bernadus Wijayaka