Anda di sini
Beranda > Mutiara Biblika > Dux In Altum

Dux In Altum

Loading

Lukas 5:4 Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.”

            Pagi itu, matahari sangat cerah, burung-burung pun ikut menyapa keindahan alam itu seraya berkicau tiada henti. Silih berganti burung-burung berkicau menyambut hari baru yang penuh harapan. Demikian juga kambing-kambing itu terlihat girang dengan menunjukkan sikap yang tidak seperti biasanya. Lompat sana kemari dan sesekali menggosokan badannya di kandang. Pagi itu luar biasa karena alam pun ikut berbahagaia dengan caranya. Di halaman rumah yang sempit itu pun terdapat beberapa bunga yang mekar dan juga beberapa sayuran yang tumbuh tanpa ditanam. Mereka semerbak memberikan sebuah harapan baru kepada dunia itu.

            Selepas memberi makan kambing-kambing dengan rumput yang telah disedaikan kemarin sore, Paijo bergegas mengambil sepeda dan mengayuhnya. Dalam benaknya, Paijo ingin bersyukur atas waktu dan hidup yang selama ini dialami. Keindahan alam ini tidak bisa terjadi tanpa karya Allah. Semua itu patut disyukuri, demikian niat Paijo. Sepeda itu mengantarkan Paijo ke gua Maria yang letaknya lumayan jauh, tetapi bagi Paijo 10 km itu jarak yang sangat pendek. Kehidupan keras di tempatnya tidak membuat kesulitan mengayuh jarah 10 km. Tiap kayuhan sepeda itu selalu diiringi dengan doa Salam Maria yang telah dihapalkan sejak masih kecil. Doa itu menemaninya sejak Paijo mendengarkan alunan doa pagi dari Simbok ketika masih tidur. Doa itu mengantarkannya dalam bawah sadar sehingga menjadi sebuah bagian hidupnya yang tidak bisa terpisahkan.

            Ayunan sepeda itu lambat laun menghantarkan Paijo sampai tujuan. Sesampainya, Paijo segera menyandarkan sepeda di tempat parkir yang telah disediakan. Tempat doa itu juga tampak indah, orang silih berganti datang dan pergi habis doa di depan gua Maria. Wajah-wajah mereka menunjukkan suka cita sekalipun dalam keheningan doa. Wajah yang masih basah selepas cuci muka di tempat gua Maria itu. Suasana tempat ini sangat mendukung untuk berdoa, sekalipun panas mulai terasa. Namun, semilirnya angin di sekitar gua yang dikelilingi pohon rindang itu menghempaskan rasa panas itu. Ditambah suara aliran air yang gemericik menghantarkan ke dalam keheningan.

            Paijo pun ambil posisi yang nyaman untuk berdoa Rosario, pemberian suster Belanda yang pernah bertugas di kampungnya. Dalam keheningan, jari-jari Paijo bergerak mendoakan Bapa kami, Salam Maria dan Kemuliaan seraya komat-kamit. Di tempat itulah, Paijo sering menumpahkan segala persoalan hidup yang dihadapinya. Paijo bermodalkan keyakinan  ketika berdoa di depan gua Maria itu maka doanya pun sering dikabulkan. Selesai Rosario, Paijo langsung meditasi beberapa waktu. Banyak pula orang yang juga masih berdoa dengan khusuk di gua Maria itu. Rasanya keheningan itu mengantarkan suasana damai yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada kesadaran manusia yang membawa kehidupan rohani semakin lebih dekat pada Allah, termasuk peziarahan ini. Tradisi gereja Katolik sangat menghormati Bunda Maria, maka orang-orang berduyun-duyun berdoa melalui perantaraan Sang Bunda. Kebetulan Oktober ditetapkan sebagai bulan Maria maka banyak orang berdoa kepadanya.

            Selepas berdoa Paijo belum juga beranjak dari tempat duduknya, dia masih merenungkan hidupnya selama ini. Pahit getir hidupnya ditumpahkan dalam ungkapan doa. Semua itu adalah wujud dari kesadaran imannnya. Setelah itu Paijo bergegas untuk menuju sumber mata air, tempat orang-orang mencuci muka dan mengambil air untuk dibawa pulang. Ketika Paijo sedang antre, antara kaget dan senang, ia  mengenal sosok yang sedang mencuci muka. Paijo pun berdiri dan menunggu mereka selesai cuci muka. Ketika selesai kedua orang itu berbalik arah dan berpapasan muka dengan Paijo.

            “Ahhhhhh, Paijo,” seru Menik dan Yanti serentak

            “Hussssss, jangan berisik,” seru Paijo seraya gantian mencuci muka.

            Pertemuan itu sangat membahagiakan terutama bertemu saat gereja mengawali bulan Maria. Di tempat itulah, kami dulu sering berziarah bersama-sama, bahkan dengan jalan kaki. Waktu indah ini tidak disia-siakan sehingga mereka mencari pendopo di sekitar gua Maria untuk melepas lelah. Kebiasaan doa di gua Maria telah turun temurun dan itu rasanya menjadi sebuah kesadaran diri untuk terus berjuang untuk melestarikan.

            “Hai, Jo, Paijo, apa kabar,” tanya Menik membuka percakapan.

            “Baik,” jawab Paijo.

            “Semoga kalian berdua juga baik ya,” balas Paijo.

            “Ngomong-ngomong, kamu tahu kalau saya di sini?” tanya Paijo.

            “Tahu donk,” seru Yanti

            “Pas di parkiran saya melihat sepedamu yang kuno, seperti kamu, heeeee,” ejek Yanti.

            “Iya, heeee. Ya punyanya hanya itu,” seru Paijo

            “Ehhhhh, jangan sensi Jo, Paijo. Kita ke sini juga naik sepeda kok,” seru Menik menghibur.

            “Tumben kalian berdua mudik ke kampung?” tanya Paijo

            “Iya, pingin saja pulang kampung. Dah bising dengan situasi kota yang kian hari polusi semakin tinggi. Jadi mumpung ada waktu kami mudik, ya syukur-syukur ketemu kamu Jo, Paijo. Jadi ada orang yang bisa kita bully, heeeee,” canda Yanti seraya tertawa lirih diikuti Menik.

            “Ahhhh, kalian dari dulu membully saya terus,” seru Paijo sambil cengar-cengir.

            “Gini lho, Jo, Paijo. Sebetulnya, kami juga ada kekhawatiran hidup terhadap situasi zaman sekarang. Banyak teman-teman sekantor dirumahkan karena kondisi kurang membaik. Siapa tahu, giliran kami juga tiba untuk dirumahkan. Namun, kami harus menghibur diri dari kekhawatiran itu,” jelas Menik.

            “Ohhhh, begitu, terus apa yang mesti kamu persiapkan,” sela Paijo.

            “Gak, tahulah Jo, Paijo. Kadang kami berdua berpikir kamu lebih enak dan nyaman tinggal di kampung dengan kambing-kambingmuBahkan bau kambing itu pun tidak mau pergi dari mu, heee,” sela Yanti sambil masih sempat membully.

            “Yaaaaa, tinggal di kampung memang enak, tetapi kadang orang kampung berpikir tinggal di kota enak. Semua serbaada, makanan, hiburan, transportasi dll. Semua itu karena kita melihat ke depan, tidak melihat saat ini dengan syukur,” seru Paijo.

            “Menik dan Yanti, ingat tidak ketika kita dulu dengerin kotbah Dux In Altumbertolaklah ke tempat lebih dalam. Ini sebetulnya sebuah isyarat bahwa kita jangan hidup dalam kenyamanan saja atau kekuatiran saja. Kita harus berjuang dan bersandar kepada Allah maka semua itu akan terjadi lebih baik. Kekuatiran itu pasti ada, hanya kita harus selalu berpikiran positif agar bisa bekerja dengan optimal,” seru Paijo sambil memberikan ceramah singkat.

            “Wuihhhhhh, betul juga Jo, Paijo. Kadang kami lupa akan perjuangan ketika sudah dalam kenyamanan. Jadi kita mesti mengubah cara pikir kita untuk memajukan diri kita terus meneus,” seru Menik.

            “Iya Jo, Paijo. Itu yang terlupakan,” tambah Yanti

            “Nah, jadi kita tidak perlu kuatir berlebihan. Burung-burung di udara itu tidak mengkawatirkan makan apa hari ini. Mereka percaya Allah akan memberikan makanan pada hari ini, seperti doa Bapa Kami,” seru Paijo.

            Pembicaraaan itu ternyata saling mengigatkan bahwa kita tetap harus berjuang dan jangan terlena dari kenyamanan. Di sela-sela perbincangan itu terdengar suara perut Paijo bunyi tanda lapar.

            “Haaaaa, ketahuan, Jo, Paijo kamu lapar,” seru Menik.

            “Heeeee, iya. Saya belum makan dari pagi,” jawab Paijo malu-malu.

            Menik dan yanti pun sigap membuka bekal mereka. Makanan pun tersedia dan kami pun makan bersama dengan suka cita, mengulang masa kecil bersama di kampung kala itu. Makanan itu menyatukan niat kami yang mulai kabur karena kekhawatiran. Santo Petrus pun ikut bergembira melihat kami bertiga bergembira karena mau tetap Duc In Altum, demi mendapatkan yang lebih baik sekalipun harus keluar dari zona nyaman.

            “Menik dan Yanti, tuhhhh gak usah khawatir. Aku lapar ada yang bawain makananan, heeeee,” seru Paijo dengan senang hari.   

            “Terima kasih Menik dan Yanti, terima kasih atas peziarahannya semua,” seru Paijo.

            Selesai makan, mereka bertiga ke parkiran dan mereka pulang berrsama, ternyata Yanti dan Menik menggunakan sepeda supaya menaikkan imun, biar sehat. Kegembiraan pun tidak berhenti di depan gua Maria, tetapi berlanjut sampai di rumah seraya naik sepeda bersama.

            “Jo, Paijo, dasar wong deso, selalu bejo,” seru Paijo dalam hari seraya bersyukur.

(RD Nikasius Jatmiko)

Leave a Reply

Top