Dalam sebuah peziarahan terpaku rasanya di sebuah tembok tertulis dalam Bahasa Latin “Dominus Flevit”. Tembok itu diam, namun ingin menceritakan banyak hal. Ketika orang duduk menatap tembok itu terasa getaran makna tertulis “Dominus Flevit” sekalipun sering kali banyak orang tidak tahu maknanya. Terpaku lama setiap orang melihat dan membacanya, seraya mencoba memberi makna sesuai apa yang dirasakan. Saya pun juga terpaku melihat tembok itu dan membiarkan semua itu masuk dalam imaginasi, seraya duduk diam mendengarkan alunan suara hati merasuk pelan dalam sanubari.
Desiran angin dan dedebuan itu pun kian memberi nuansa mistis. Suasana itu semakin mencekam untuk tidak beranjak dari tempat itu. Sesekali orang lalu lalang melewati tempat itu tanpa menghiraukan, namun ada juga orang yang membaca sebentar dan melewati, bahkan ada juga yang duduk mencoba menelusuri makna dibalik yang tertulis itu. Banyak juga orang lewat, namun nampaknya tidak terusik dengan tulisan itu, kini saya mencoba menghibur diri seraya beranjak dari tempat itu sambil merenungkan apa makna tulisan terpapang di tembok itu.
Sekian lama peristiwa itu telah berlalu, namun terngiang terus di dalam hati makna tulisan itu. Seakan tulisan itu ikut melekat dalam laku hidup ini. Tulisan itu terus menempel dan tidak terhapus dalam sanubari. Situasi itu membuat saya ingin tahu lebih lanjut, maknanya. Akan tetapi, kepada siapa saya harus bertanya, sementara itu saya hanyalah orang kampung biasa yang tidak mempunyai latar pendidikan luar biasa. Sejenak saya ingat bahwa di gereja ada romo asing, beliau misionaris yang sudah lama di Indonesia, berarti bisa menjelaskan, pikir saya begitu.
Hari itu adalah Sabtu. Saya sengaja datang pagi hari untuk bertanya pengalaman spiritual yang terus mengusik hati untuk mencari jawaban. Kebetulan romo misionaris itu juga bisa Bahasa Jawa, jadi setidaknya bisa memahami kegundahan saya. Setelah pamitan Simbok, saya pergi ke Pastoran.
“Tettttttttttttt,” terdengar suara bel berbunyi. Saya memencetnya seraya berdiri di depan pintu seraya menunggu dibukakan.
“Selamat pagi,” seorang membukakan pintu sambil menyapa ramah.
“Pagi, saya Paijo,” seru saya sambil memberi salam.
“Ya, bisa saya bantu?” tanya bapak itu tanpa memperkenalkan diri.
“Hmmmmm, saya mau ketemu romo paroki,” sahut saya
“Maaf, romo paroki sedang ada acara di luar kota, baru pulang minggu depan,” seru bapak itu.
“Silakan masuk dulu,” kembali bapak itu mempersilakan saya masuk ke ruang tamu dengan tempat duduk dari rotan kuno.
“Terima kasih,” sahutku singkat.
“Maaf, nak Paijo. Saya romo tamu yang diminta romo paroki untuk menggantikan sementara romo paroki keluar kota,” sahutnya.
“Oh, maaf, saya tidak tahu. Saya Paijo, anak paroki di sini,” seraya menyulurkan tangan.
“Saya Romo Albert,” romo baru itu memperkenalkan diri.
“Nak Paijo, apa yang bisa saya bantu, apa nak Paijo tetap mau menunggu pastor paroki,” sahut Romo Albert
“Maaf romo, saya ingin bertanya, mungkin saya bisa dapat pencerahan. Dalam peziarahan itu ada sebuah tembok tertulis “Dominus Flevit”. Saya tidak mengerti maksud tulisan itu, namun ketika menatap tembok yang tertulis itu, hati saya seperti digerakkan untuk mengetahui lebih dalam. Namun sampai sekarang belum ada yang bisa menjelaskan, mungkin romo bisa membantu saya,” keluh Paijo.
“Jo, Nak Paijo. Bukankan Lukas memberikan gambaran ‘19:41 Dan ketika Yesus telah dekat dan melihat kota itu, Ia menangisinya, 19:42 kata-Nya: “Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu. 19:43 Sebab akan datang harinya, bahwa musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan, 19:44 dan mereka akan membinasakan engkau beserta dengan pendudukmu dan pada tembokmu mereka tidak akan membiarkan satu batu pun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat, bilamana Allah melawat engkau,” kutip Romo Albert.
“Jo, Nak Paijo. Yesus menangis menunjukkan rasa kemanusiaan, betapa susahnya manusia menerima kebaikan. Justru sebaliknya kejahatan selalu ada dan berkembang dengan kuat. Tulisan ‘Dominus Flevit’ itu juga gambaran bagaimana Tuhan menangisi kota yang menolak kehadiran Mesias, sekalipun sudah diramalkan para nabi. Mereka lebih senang pada keyakinan dan kebenaran mereka sendiri,” jelas Romo Albert.
“Ya, romo sekarang saya mulai mengerti, lalu apa hubungannya dengan dunia sekarang?” tanya Paijo
“Jo, nak Paijo. Tangis memang tidak selamanya sebuah gambaran kesedihan, bisa jadi tangis sebuah gambar kegembiraan. Namun dalam teks itu adalah gambaran kesedihan Tuhan terhadap bangsa yang menolak Mesias. Ini bisa jadi gambaran hidup kita, namun bukan dalam hal menolak Mesias. Kita sering kali ditolak oleh orang lain, sahabat kita, atau mungkin keluarga kita. Ada macam-macam penolakan itu terjadi dalam hidup kita. Bisa jadi mereka iri terus menolak kita, bisa jadi mereka tidak suka dengan kita, sehingga apa pun yang kita lakukan selalu sarana untuk ditolak. Kita masih banyak melihat contoh-contoh lain yang lebih luas, seperti peperangan itu adalah bentuk penolakan kedamaian,” jelas Romo Albert.
“Romo terima kasih, sekarang saya paham. Kalaupun Tuhan kita menangis karena ditolak, disesah bahkan dibunuh, namun Tuhan tidak pernah membalas, bahkan mendoakan seperti tertulis Lukas ‘23:34 Yesus berkata: ‘Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.’ Dan mereka membuang undi untuk membagi pakaian-Nya,” sahut Paijo
“Jo, nak Paijo. Benar apa yang kamu katakan. Tampaknya kamu orang desa tetapi mampu mendalami iman Katolik sangat dalam,” jawab Romo Albert sambil tersenyum.
“Ah, romo, itu kan hanya pendapat saya seperti yang saya baca dari Kitab Suci,” sela Paijo seraya tersipu malu.
“Jo, nak Paijo. Memang itulah inti iman kita sebagai orang katolik. Sekalipun kita sedih, menangis, atau kecewa karena dihantam oleh saudara seiman kita sendiri, kita harus tetap ada dalam situasi yang seperti nak Paijo katakan dari injil Lukas, yakni mengampuni dan juga harus mendoakan mereka. Sekalipun hati jengkel dan sedih, kita harus tetap mendoakan itu. Itulah ajaran iman kita seperti dalam injil. Itu ajaran yang berat dan sulit untuk dilaksanakan,” seru Romo Albert.
“Terima kasih romo atas pencerahannya, semoga ini menjadi bahan renungan iman saya. Saya mohon pamit dulu romo, Simbok telah nunggu di rumah,” seru Paijo seraya pamitan.
Segera selesai pamitan Paijo pun pulang dengan nada riang sebab telah menemukan jawabannya. Selama perjalanan Paijo bersiul sambil berjalan riang. Sesampainya di rumah Paijo mencium bau masakan Simbok enak sekali. Ini jarang terjadi sebelumnya.
“Wah Simbok, masak enak hari ini,”seru saya dalam hati.
Paijo pun langsung masuk rumah dan Simbok telah mengolah masakan yang luar biasa. Bau yang menggugah selera makan.
“Mbok, tumben masak enak?” tanya Paijo.
“Iya Jo, Paijo. Tadi pas kamu pergi, kambingmu, terikat lehernya kuat sekali, jadi hampir mati. Aku sudah usaha untuk membantu, tetapi tidak tertolong. Akhirnya kambingmu tertolong di kuali ini Jo, Paijo,” jawab Simbok.
“Jadi kambingku, mati satu donk,” seru Paijo kaget.
“Iya, kan beruntung Jo, Paijo. Jadi kita bisa makan gule kambing,” jawab Simbok
“Ya, Simbokkkkkkkkk,” seru Paijo
“Hmmmmmmmm, benar juga. Sedih juga ya, kambingku mati. Akan tetapi, Simbok tampak senang, karena dengan kematian kambing dapat makan gule kambing,” Paijo menggerutu sambil menghibur diri.
“Mbing, kambing, kok yo kamu mati. Wah jadi saya harus makan dagingmu donkkkkk,” seru Paijo seraya ambil piring menuju dapur dan mengambil makanan yang masih di kuali.
“Jo, Paijo, dasar senang saja, pura-pura sedih, heeeeee” seru Simbok yang masih ada di dapur. Gule itu pun juga belum diangkat dari tungku, namun Paijo sudah mengambil dan makan duluan tanpa menghiraukan Simbok.
“Jo, Paijo. Katanya sedih, kambingmu mati, kok makan banyak sekali,” seru Simbok sambil senyum-senyum.
“Mbokkkkkk, makan guleeeeeee Mbok, biar hilang rasa sedih” seru Paijo seraya makan gule banyak sekali.
“Jo, Paijo, kambingnya mati, jadi berkat ya. Makan daging kambing, heeeeee,” seru Paijo dalam hati seraya melahap masakan Simbok. Kesedihan Paijo menjadi kebahagiaan.
(RD Jatmiko)