Anda di sini
Beranda > Mutiara Biblika > Bebal Hati

Bebal Hati

Loading

“Kamu mempunyai mata, tidakkah kamu melihat dan kamu mempunyai telinga, tidakkah kamu mendengar? Tidakkah kamu ingat lagi.

Markus 8:18

Suara burung hantu itu terdengar lagi di pepohonan belakang rumah. Tiada hentinya burung itu memberi nuansa rasa yang memilukan sebab orang tua secara turun-temurun mengajarkan bahwa suara burung hantu itu pertanda akan ada orang meninggal. Ini memang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, namun cerita itu terus menerus diberikan. Anehnya juga, peristiwa kematian sering kali terjadi setelah ada suara burung hantu. Peristiwa kematian setelah ada suara burung hantu itu semakin memperkuat mitos bahwa alam memberikan pertanda. Ketika suara burung hantu terdengar,  orang kampung itu segera mengusirnya, artinya kematian itu hendaklah jangan cepat datang sekalipun itu sebuah kepastian bagi setiap makluk hidup. Ini pertanda pula manusia ingin lebih lama hidup di dunia, sekalipun sering kali terjadi derita, bencana, dan aneka cobaan.

Manusia diberi kesempatan untuk hidup   di dunia ini dengan batasan yang Allah tentukan. Manusia sebagai ciptaan yang paling utama diantara semua ciptaan diberi kuasa pula untuk selalu menjaga keharmonisan dengan Allah, sesama, dan alam  supaya manusia bisa hidup. Manusia mempunyai kuasa sesuai dengan anugerah Allah seperti tertuang dalam Kitab Kejadian 1:28. Kuasa itu bertujuan untuk menjaga keselarasan dengan Tuhan dan sesama, termasuk alam semesta. Kuasa ini sering kali menjadi bumerang  sehingga manusia lupa diri. Manusia berdalih bahwa kuasa itu bisa menjalankan apa saja, termasuk seperti Allah, yakni gambaran keangkuhan manusia yang mulai digerus oleh kuasa. Ini menjadi lahan subur manusia jatuh ke dalam pencobaan. Artinya manusia tenggelam oleh kuasa atau sering kita kenal dengan kehendak bebas. Adam dan Hawa tenggelam dalam kehendaknya sendiri dan tidak lagi sejalan dengan kehendak baik, yakni Allah. Akibatnya manusia tidak lagi mempunyai keharmonisan dengan Alah, alam, dan sesama. Itulah cikal bakal manusia harus mati karena tindakanya melawan Allah.

Dalam situasi seperti itu, manusia sering kali masih mengelak dan berargumentasi untuk membenarkan tindakannya sehingga manusia semakin angkuh. Keangkuhan ini menjadikan jurang semakin dalam. Alam rusak, dunia semakin banyak menderita, dan dunia sakit bukan semata-mata Allah menghukum manusia, melainkan manusia merusak sendiri dengan tidak mengikuti kehendak Allah. Dunia semakin hari semakin berduka, bencana silih berganti menerpa manusia.

Paijo merenungkan peristiwa ini seorang diri di gubuk tengah sawah seraya menunggu kambing-kambingnya makan rumput. Kambing-kambing itupun tidak pernah lelah mengais sisa-sisa rumput hijau yang kini mulai menguning karena musim panas. Terik matahari itu pun tidak membuat kambing itu menyerah, demi hidup. Kambing-kambing itu mempunyai cara tersendiri yang tidak disadari Paijo untuk berterima kasih kepada alam. Kambing-kambing itu membuang kotoran yang menjadikan pupuk bagi rumput-rumput itu. Nanti ketika musim hujan tiba, rumput itu akan bersorak gembira menampilkan kesuburan.

            “Jo, Paijo,” seru seorang memanggil kejauhan dan Paijo pun tidak menyahut.

            “Jo, Paijo”, sekali lagi suara itu terdengar jauh di sana.

            “Yaaaaaaa,” jawab Paijo dengan lantang.

            Lambat laun suara itu mendekat, ternyata Parman dan Paimin datang menghampiri.

            “Jo, Paijo. Sendirian saja,” sapa Paimin.

            “Iya, tumben kalian baru datang?” tanya Paijo.

            “Iya nih, Jo, Paijo. Rasanya hidup ini malas sekali. Bencana silih berganti menerpa manusia,” Seru Paimin sambil ikut berteduh di gubuk itu.

            “Menurut kamu bagaimana, Man Parman?” tanya Paijo.

            “Ya, itulah manusia yang bebal hatinya. Manusia semau gue,” seru Parman

            “Iya sih,” Paijo menyetujui.

            “Miris setiap hari kita dengar berita bahwa ada orang meninggal,” keluh Paijo.

            “Nah itu, saya juga kepikiran seperti itu,” sahut Paimin.

            “Betul, betul, apalagi tiap malam kita dengar suara bunyi burung hantu, semakin membuat seram,” imbuh Parman.

            “Ya, burung hantu memang mencari makan di malam hari, kebetulan kampung kita banyak tikus, jadi wajarlah jika setiap malam terdenagr suara burung hantu,” seru Paijo menghibur diri padahal ketakutan juga.

            “Iya, tetapi setiap kali ada suara burung hantu, selalu pagi ada kematian,” seru Paimin.

            “Iyaaaa, itu soal kebetulan saja, Itu mitos. Hidup dan mati itu telah diatur oleh Allah, kita hanya bisa menjalani dengan baik,” seru Paijo seperti paling kuat menghadapi kenyataan ini.

            “Orang-orang bebal hatinya, tidak mau mendengarkan sesuatu yang baik demi kebaikan bersama. Semua mempunyai ide membenarkan dirinya sendiri. Maka injil Markus itu semakin menegaskan kebenaran. Kekisruhan itu karena sulitnya manusia mendegarkan, lebih-lebih mendengarkan kehendak yang baik dari Allah melalui Kitab Suci ketika dibacakan. Jadi kita tidak bisa menyalahkan ALLAH, jangan-jangan itu semua karena kita tidak mau sejalan dengan kehendak Allah,” seru Paijo.

            “Iya Jo, Paijo. Situasi kita sudah menakutkan bahkan pada saat ini pun bencana itu masih mengintip kita. Jadi kewaspadaan harus tetap dijaga,” Imbuh Parman.

            “Iya, kita hanya bisa tabah dan sedapat mungkin memperbarui sikap kita untuk bersahabat dengan Allah, alam, sesama dan kambing-kambing kita, heee,” seru Paijo.

            Ketika bicara bersahabat dengan kambing-kambing, ternyata kambing-kambing sudah tidak ada yang di ladang. Mereka tidak melihat kapan kambing-kambing itu pulang karena mereka bertiga asik bicara. Betapa kagetnya ternyata sudah sore, lebih kaget lagi, tiba-tiba terdengar suara burung hantu, mereka pun akhirnya lari kabur ketakutan.

            “Lariiiiiii, ada burung hantu,” seru Paijo sambil lari diikuti Parman dan Paimin.

            Tiba-tiba terdengar suara orang jatuh, ternyata Paijo kepleset kotoran kambing yang barusan buang di tempat itu.

            “Haaaaaa, Jo, Paijo. Katanya pasrah kepada Allah, kamu lari duluan malah kepleset korotan kambingmu, heeee. Makanya tambah lagi, punya mata untuk melihat Jo, Paijo jangan lari ketakutan haaaaaaa,” seru Parman dan Paimin serentak sambil ketawa tanpa henti.

            “Jo, Paijo, dasar wong ndeso,” seru Paijo dalam hati sambil tersipu malu. 

(RD Nikasius Jatmiko)

Leave a Reply

Top