“Akan tetapi, saudara-saudaraku yang kekasih, yang satu ini tidak boleh kamu lupakan, yaitu, bahwa di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari”.
2 Petrus 3:8
Mbah Mitro adalah seorang juru kunci makam. Sehari-hari beliau bertugas membersihkan makam itu seraya menanti pada peziarah yang ingin berdoa untuk kerabat yang dimakamkan di situ. Mbah Mitro dan istrinya selalu ada di sekitar makam setiap hari dengan bermodalkan sapu dan sabit untuk membersihkan rumput-rumput liar di makam itu.
Mereka berdua mengerjakan itu dengan sukarela tanpa ada gaji. Kerelaan mereka itu adalah sebuah tindakan mulia yang mesti dicontoh bahwa berbuat amal kasih itu tidak harus mengharapkan upah duniawi dari manusia. Ketulusan tugas itu kiranya tidak membuat hidup Mbah Mitro kekurangan. Artinya selalu ada saja buat makan dan minum tiap hari.
Rumahnya pun tidak jauh dari makam itu menampilkan tipe yang sangat sederhana. Bilik dari bambu menjadi tempat berteduh dengan dikelilingi taman seadanya, sehingga rumah itu pun terasa nyaman dan damai sekalipun ada di samping makam. Keheningan malam itu pun menjadi keheningan Mbah Mitro berdua. Justru ini menjadi sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Mereka menyadari bahwa apapun pangkat dan kekayaan, semua orang akan kembali mengalami keheningan seperti di makam ini.
Kekayaaan dan pangkat akan sirna sia-sia ketika manusia berhadapan dengan sang maut. Mereka akan kembali kepada sepetak tanah dalam keheningan abadi, itulah hidup abadi yang sesungguhnya. Santo Fransiskus mengajarkan bahwa manusia tidak lagi membawa apa yang dimiliki di dunia ketika meninggal, melainkan membawa apa yang telah diberikan kepada sesama.
Demikian Mateus 25:34 menegaskan, ”Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan.25:40 Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.
Manusia akan mengalami peristiwa ini, maka manusia hanya bisa mempersiapkan diri dengan menjalankan nasihat Injil untuk berbuat kebaikan kepada sesama. Itu akan menjadi ukuran kelayakan manusia masuk dalam kehidupan abadi, vita aeterna.
Gereja Katolik memberikan waktu khusus untuk mendoakan arwah-arwah setiap 2 November. Ini berarti Gereja meyakini bahwa ada arwah-arwah yang belum sempurna menghadap Allah. Gereja mempunyai kewajiban untuk mendoakan mereka. Manusia hanya bisa memohon belas kasih Allah atas arwah-arwah yang masih dalam perjalanan menuju Allah.
Keyakinan ini didasarkan pada kita 2 Makabe 12:42 “Merekapun lalu mohon dan minta, semoga dosa yang telah dilakukan itu dihapus semuanya. Tetapi Yudas yang berbudi luhur memperingatkan khalayak ramai, supaya memelihara diri tanpa dosa, justru oleh karena telah mereka saksikan dengan mata kepala sendiri apa yang sudah terjadi oleh sebab dosa orang-orang yang gugur itu”. Setiap orang yang masih hidup harus mendoakan mereka yang sudah dipanggil Allah. Kita mendoakan arwah tidak terbatas waktu, karena waktu Allah dan Manusia adalah beda.
Demikian Surat 2 Petrus 3:8 “Akan tetapi, saudara-saudaraku yang kekasih, yang satu ini tidak boleh kamu lupakan, yaitu, bahwa di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari”. Jadi mendoakan arwah tidak hanya berhenti pada batasan waktu manusia, 7, 40, 100, sampai 1000 hari. Selama manusia hidup kita tetap mendoakan, setidaknya mendoakan arwah-arwah yang sungguh membutuhkan doa kita, tidak hanya keluarga.
Ketekunan Mbah Mitro berdua ini telah dihayati sedemikian rupa sehingga mereka rela menjadi juru kunci makam itu seraya menunggu para peziarah mengunjungi makam keluarga yang dimakamkan di situ. Mbah Mitro sangat memahami pergulatan spiritualnya bahwa manusia pada akhirnya menuju tempat yang sama. Orang-orang tidak akan bisa mengelak akan panggilan Allah dalam vita aeterna. Kesadaran Mbah Mitro itu diungkapkan dengan caranya, yakni menjaga, membersihkan, dan juga mendoakan orang-orang yang dimakamkan di situ dengan keyakinannya.
Pagi itu tepat 2 November, Mbah Mitro telah siap menyambut tamu yang akan ke makam. Hari itu Mbah Mitro mendapat banyak berkah dari para peziarah. Itu adalah berkat dari apa yang telah dilakukan selama menjadi juru kunci. Demikian juga, Paijo pun datang ke makam untuk berziarah ke makam simbok. Paijo bertemu banyak orang yang juga ingin nyekar keluarga mereka. Sesampai di makam simbok, ternyata sudah ada bunga yang ditaburkan di pusara.
Ada orang yang sudah mendahului berziarah ke tempat Simbok. Paijo pun bersyukur bahwa masih ada orang yang masih memperhatikan Simbok sekalipun sudah meninggal dunia. Sejenak Paijo berdoa dan menaburkan bunga. Selepas itu Paijo pun tidak langsung pulang, namun duduk dekat pusara itu sambil menghabiskan waktunya dalam keheningan. Situasi di makam terlihat hening sekalipun banyak orang silih berganti, sapa menyapa pun seadanya, semua khusuk berdoa untuk keluarga dan handai taulan mereka.
“Jo, Paijo,” sapa Mbah Mitro seraya menghampirinya
“Ohhhh, Mbah Mitro, sehat Mbah,” sahut Paijo dengan ramah
“Iya, Jo, Paijo. Bagaimana lama tidak datang ke makam, apa kamu sedang sibuk,” seru Mbah Mitro seraya membawakan secangkir kopi dan makanan seadanya hasil dari pemberian orang yang berziarah.
“Iya, Mbah, hidup sendiri itu harus banyak yang dikerjakan, jadi kadang sampai lupa mesti melakukan apa lagi,” seru Paijo.
“Iya, Iya, saya mengerti,” seru Mbah Mitro seraya menepuk pundak Paijo.
“Mbah, maaf. Kalau boleh tahu, siapa yang tadi datang menabur bunga di pusara Simbok?” Tanya Paijo.
“Sepintas tadi saya lihat ada dua orang perempuan, tetapi saya kurang mengenalnya. Mereka datang sebentar, berdoa, dan menaburkan bunga terus pulang, jadi saya tidak sempat bertemu langsung,” kata Mbah Mitro.
“Ohhhh, terima kasih Mbah infonya. Oh iya, saya juga berterima kasih lagi, Mbah Mitro telah merawat dan menjaga makam Simbok,”seru Paijo
“Sama-sama, Jo. Paijo. Inilah telah menjadi panggilanku sebagai seorang penjaga kunci,” sahut Mbah Mitro.
“Mbah, Mbah Mitro. Mbah Mitro tidak takut hidup dekat makam yang sepi dan jauh dari penduduk ini?” Tanya Paijo.
“Jo, Paijo. Kenapa kita harus takut, keheningan dekat makam ini menjadi saat yang baik bagi orang seperti saya dan istri. Orang tua seperti saya ini hanya tinggal menghitung waktu, yang kami bawa hanya amal dan perbuatan. Ini yang bisa saya lakukan di penghujung hidupku dan istriku. Jadi keheningan itu bukan menakutkan, justru Allah sering kali menyapa setiap manusia dalam keheningan. Artinya manusia harus menyiapkan waktu untuk Allah dalam keheningan. Pada saatnya manusia akan ada dalam keheningan selamanya, masuk dalam kemuliaan Allah. Jadi ini waktu saya mempersiapkan diri dengan cara menjaga makam ini, Jo Paijo,” seru Mbah Mitro menasehati Paijo.
“Iya, Mbah, pengalaman yang luar biasa. Mbah Mitro mampu menerima situasi ini sebagai persiapkan Mbah Mitro menuju kepada keabadian,” sahut Paijo.
“Jo, Paijo. Jangan berhenti mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia. Mereka telah mendahului masuk dalam kehidupan kekal, vita aeterna. Semoga apa yang telah dilakukan di dunia berkenan kepada Allah. Sebaliknya jika mereka belum sampai kepada Allah, mari kita doakan mereka terus menerus tanpa henti. Kita tidak tahu apakah para leluhur sudah bersama Allah atau belum, karena waktu kita dengan Allah berbeda. Sementara setiap orang mempunyai hukuman yang beda-beda pula. Semua diukur dari amal dan doanya saat di dunia,” pinta Mbah Mitro.
“Baikkk, Mbah. Saya akan menjalankan ajakan Mbah Mitro,” sahut Paijo seraya seruput kopi yang mulai dingin.
Percakapan itu ternyata sampai sore, hingga lupa mereka tinggal berdua saja di makam. Mbah Mitro pun dah biasa dalam kesendirian, kini Paijo pun harus kembali dalam keheningan lagi di rumah tanpa Simbok. Paijo pun pamitan pulang. Sebelum pulang Paijo pun berdoa lagi sebentar di pusara Simbok, dan pamitan. Demikian Paijo pun minta ijin pulang ke Mbah Mitro seraya membawa sisa makanan yang diberikan mbah Mitro.
“Mbokkkk, pulang dulu, ya” seru Paijo terus meninggalkan makam seraya pamitan pulang kepada Mbah Mitro. “Requiescat In Pace, Mbokkkk Simbokkk,” seru Paijo seraya meninggalkan makam.
Penulis: RD Nikasius Jatmiko | Editor: Bernadus Wijayaka