Bonardo Simatupang tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Raut wajahnya sendu, sinar matanya pun meredup. Itu terjadi saat pria yang akrab disapa Pak Bonar ini usai menonton film Passion of The Christ. “Setiap kali saya nonton film Passion of The Christ, air mata selalu menitik. Terbayang akan sengsara Yesus. Terbayang akan penderitaannya. Mengapa orang baik dan benar seperti Yesus harus menjalani siksaan,” urai Bonar.
Kalau dibandingkan dengan penderitaan, lanjut Bonar pria 65 tahun yang baru dua tahun lalu menderita low vision (lemah penglihatan) ini, penderitaan yang dialaminya belumlah seberapa. “Sering kali dengan keterbatasan mata yang saya alami, kedukaan selalu muncul. Tapi dengan melihat sengsara Yesus, itu belum ada apa-apanya,” lanjut Bonar.
Apa yang dirasakan Bonar, tak jauh berbeda dengan Steven Loardy. Umat berkebutuhan khusus (UBK) pengguna kursi roda ini pun menyatakan, film Passion of The Christ begitu menyedihkan dan menyentuh. “Saya merasa Yesus yang mengalami siksaan, dicambuk, memanggul salib, dipaku dan disalibkan itu merasakan benar penderitaan yang dialami oleh orang-orang cacat. Bukankah ketika Yesus harus jatuh bangun memanggul salib, dia sangat sulit untuk bangun dan menjadi terbatas,” kata pria 32 tahun itu.
Dengan melihat tayangan film tersebut, sambung Steven, UBK harus tetap bersyukur dalam kekurangan fisik. “Dalam kekurangan fisik UBK harus tetap bersyukur karena ia mampu menerima kekurangan itu. Sebenarnya penderitaan bukan hanya dialami oleh UBK. Tak sedikit mereka yang non-disabilitas atau orang-orang normal belum bisa sepenuhnya menerima kekurangan yang mereka rasakan. Keterbatasan kan bukan hanya dari sisi fisik saja tapi juga batin bahkan iman yang belum bisa menerima diri sepenuhnya. Jadi, baik UBK dan orang-orang normal yang belum bisa menerima kekurangannya, itu belum bisa mensyukuri karunia Tuhan,” tuturnya.
Acara nonton bareng (nobar) film Passion of The Christ pada Minggu (25/3) lalu itu digagas oleh Kumpulan Orang Mau Pelajari Ajaran Kristus (KOMPAK) Keuskupan Bogor, dan Jakarta. Puluhan UBK tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa berkumpul bersama di ruangan kelas SD Budi Mulia Bogor. Sejumlah pembakti yakni Yuliana Uli, Monika, Tata, dan Flo mendampingi tunanetra untuk mendeskripsikan jalannya kisah dalam film tersebut.
Pembakti KOMPAK Theresia Niniek Sudarwati mengungkapkan, nobar film Passion of The Christ ini bertujuan agar para UBK menyadari akan penebusan Tuhan di kayu salib. “Nobar ini dalam rangka Masa Prapaskah. Dengan menyaksikan film Passion of The Christ, kita diharap menangis bukan karena kasihan melihat penderitaan Tuhan, tetapi lebih karena kita menyesali atas semua dosa-dosa yang telah kita perbuat. Di situ kita lihat betapa cinta Tuhan yang sangat besar kepada kita semua, sehingga rela menderita demi kita manusia,” papar Niniek, Kamis (29/3).
Sementara untuk UBK tunagranita diajak untuk berkegiatan mewarnai dan bercerita tentang penyambutan Tuhan saat Minggu Palma. “Untuk yang tunagranita kami tidak merekomendasikan menonton film ini, karena unsur kekerasan yang ada dalam film itu belum bisa mereka tafsirkan dan mereka terima dengan benar,” ujarnya.
Usai nobar film Passion of The Christ, puluhan pembakti mendapat pengajaran iman yang dibawakan oleh ketua KOMPAK Klemensia Shenny Chaniaraga. Pada sesi kali ini Sheny mengajarkan tentang Discerment. Ini merupakan pengajaran yang rutin dilakukan.
Sebelumnya, UBK didampingi pembakti dan anggota keluarga merayakan Misa Minggu Palma di Gereja Katedral. Sekretaris Uskup Bogor RD Yustinus Monang Damanik dalam khotbahnya menekankan agar umat layaknya seperti pohon palma. “Jadilah kita seperti pohon palma yang bisa tumbuh di mana saja, dan bertahan dalam segala cuaca. Milikilah spirit seperti pohon palma,” pinta Romo Monang.
(Jam)
Halo kak,
Mau tanya, kalo mau ngadain nobar the Passion of the Christ, apakah perlu mengurus ijin tayang/membayar royalti?
Terima kasih.,