Anda di sini
Beranda > Mutiara Biblika > Onthel Pun Jadi Saksi

Onthel Pun Jadi Saksi

Loading

Pagi itu cuaca sangat bersahabat, matahari terbit dengan cerah sementara embun masih menghiasi rerumputan di tepi jalan. Burung-burung pun ikut berkicau di dahan seakan menyambut pagi yang cerah. Demikian juga lebah beterbangan mengais madu di bunga yang mulai mekar pada Mei ini. Kampung serasa muncul sebuah kehidupan baru dengan mekarnya aneka bunga yang semerbak mewangi.

Di kebun rumah itu ada pohon mawar yang juga ikut meramaikan suasana. Aneka macam warna mawar itu berkembang serentak, bahkan ada juga tunas-tunas bunga yang akan silih berganti berkembang pada bulan ini. Sebuah bulan penuh berkah karena alam pun tampaknya ikut menyambut kebahagiaan dunia ini.

etiap Mei, teringat dalam benakku bulan untuk berziarah, teringat pula cerita bagaimana Bunda Maria menampakkan diri kepada orang-orang yang menjadi pilihan Allah sendiri. Setelah ingat itu, saya segera menyiapkan pakan kambing-kambingku. Selesai itu saya mengambil Rosario dan saya kalungkan di leher. Segera saya mengambil sepeda onthel kesayanganku, kukayuhkan sepeda menuju tempat ziarah seorang sendiri. Tempat itu adalah gua Maria, yakni tempat orang-orang kampung berdoa kepada Bunda Maria. Tempat itu dulunya sangat menyeramkan, tetapi ketika dijadikan tempat ziarah, banyak orang berbondong-bondong berdoa memohon pertolongan Bunda Maria.

<Tepat pukul 9.00 pagi saya mengayuh sepeda ke gua Maria itu. Niat berdoa yang sedang tinggi membuat keinginan ziarah semakin menggebu-gebu. Sepeda onthel itu menjadi teman menuju ke Gua Maria itu. Selama perjalanan, doa Salam Maria tidak terhenti terucap dalam hati. Doa Salam Maria memberikan spirit dalam perjalanan ziarah saya ini. Waktu kira-kira sudah 30 menit, tetapi saya belum sampai pada tujuan. Dengan menahan haus, saya pun terus melanjutkan perjalanan. Sesekali di jalan ketemu orang, tetapi kebanyakan saya tidak mengenal, jadi hanya tersenyum saja seraya menyapa ala anak kampung berkomunikasi.

Tepat 45 menit mengayuh sepeda sampailah saya ke tempat Gua Maria. Sepeda saya titipkan di rumah dekat Gua Maria itu dan saya melanjutkan jalan kaki menuju Gua Maria. Sebab sepeda tidak memungkinkan sampai tujuan. Selama perjalanan kaki menuju Gua, terlihat beberapa orang datang juga berdoa di Gua Maria. Bahkan terlihat beberapa orang berpakaian rapi. Saya hanya menduga bahwa mereka peziarah dari kota. Demikian juga saya lihat di parkiran mobil luar kota. Seperti anak desa umumnya, saya sangat malu jika ketemu orang kota, jadi saling menyapa dengan tersenyum dan ucapan selamat pagi saja.

Selang beberapa menit saya sudah sampai di Gua Maria tempat berdoa kepada Bunda Maria. Banyak pengunjung datang dan berdoa di depan Gua Maria. Sementara saya langsung ke sumber mata air untuk minum, karena kehausan selama naik sepeda. Setelah itu saya mencari tempat di belakang. Maklum, keringat keluar membasahi baju sekaligus membuat aroma tidak sedap. Orang-orang kota beraroma wangi terasa semerbak setiap kali ketemu, sementara aroma kambing yang selalu melekat di baju saya. Di belakang itu ada tempat kosong, saya duduk sendirian dan mulai lah berdoa. Saya ambil Rosario yang tergantung di leher, Rosario pemberian Menik dan Yanti sebelum pindah ke kota.

Dalam keramaian orang yang sedang berziarah, saya tetap mencoba hening dalam doa. Doa Rosario saya lambungkan seraya memegang manik-manik itu sampai habis. Selesai rosario saya tidak langsung beranjak, namun saya masih dalam suasana hening seperti bermeditasi. Keheningan saya berdoa seakan tidak terganggu dengan hiruk pikuk para pengunjung yang silih berganti. Selepas hening, saya mulai rileks namun saya masih belum membuka mata, karena terasa ada orang duduk di sebelah kanan dan kiriku. Bau wangi kota itu telah menusuk hidungku. Hanya teringat masa kecil dulu kami selalu doa bersama bertiga di sini, namun semua dijalani dengan naik sepeda dan baunya tidak sewangi ini. Saya pun belum membuka mata, namun dalam hati hanya bertanya-tanya siapa gerangan yang duduk di sebelah kanan dan kiriku.

“Hmmmmm,” begitu terdengar suara batuk buatan dari sebelah kanan dan sebelah kiri. Namun mata belum mau membuka, sedikit jual mahal.

“Hmmmmmmm,” kembali suara itu seperti disengaja terdengar di telinga semakin dekat. Maka saya pun mulai membuka mata pelan-pelan dan mencoba melirik sebelah kanan dan sebelah kiri.

“Ahhhhhhhh, kamu Menik dan Yanti,” seru Paijo melepaskan kegembiraan sehingga mengejutkan banyak orang yang sedang berdoa.

“Husssssss,” seru beberapa pengunjung yang sedang ziarah.

Kami pun akhirnya bersalaman dan mencari tempat untuk ngobrol bersama. Seperti biasa kami mempunyai tempat favorit di bawah rimbunan pohon di belakang yang ada tempat duduk dari batu. Dulu kami berziarah selalu membawa bekal, sementara kini saya tidak membawa. Hari ini Menik dan Yanti membawa oleh-oleh dari kota. Jadi kelaparan akan sirna dengan makanan kota itu.

“Ayooooo, kita ngobrol sambil makan,” sahut Menik yang tidak berubah sama sekali penampilannya.

“Sippppp lah,” timpal Yanti yang sedikit bawel seraya membawa makanan.

“Yanti, Menik, bagaimana kalian tahu, saya ada di sini,” seru Paijo.

“Jo, Paijo. Saya masih ingat kebiasaan kita zaman dulu, setiap awal Mei kita selalu ke sini untuk berdoa kepada Bunda Maria. Apalagi bau kambing masih tidak hilang, heeeee” seru Yanti seraya meledek Paijo.

“Iya, betul-betul. Bukannya kita dulu bertiga selalu berdoa bersama, untuk mohon bantuan Bunda Maria akan mendampingi perjalanan hidup kita,” seru Menik.

“Iya, iya betul. Jadi teringat masa kecil kita,” seru Paijo.

“Ayo sekarang kita makan dulu, ini ada makanan, jangan hanya ngobrol terus” seru Yanti seraya menyodorkan makan. Untung tempat ini memang dikhususkan untuk makan-makan, sedikit jauh dari tempat doa. Jadi kami bertiga makan sambil katawa-ketiwi mengingat masa lalu. Istilah sekarang reuni.

“Menik dan Yanti. Umat katolik selalu memenuhi tempat ini untuk berdoa seperti dulu. Bedanya, dulu kita ke sini hanya naik sepeda, tetapi sekarang banyak orang ke sini naik mobil termasuk kamu. Akan tetapi, saya tetap setia dengan sepeda onthel yang menjadi saksi perjalanan ziarah kita dari dulu sampai sekarang,” seru Paijo seraya makan bersama-sama.

“Jo, Paijo. Kenapa orang suka berziarah ya, bukannya berdoa itu bisa di mana saja, termasuk di rumah kita masing-masing?” tanya Yanti.

“Coba kita ingat Lukas 2:41 Tiap-tiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah. 2:42 Ketika Yesus telah berumur dua belas tahun pergilah mereka ke Yerusalem seperti yang lazim pada hari raya itu. 2:43 Sehabis hari-hari perayaan itu, ketika mereka berjalan pulang, tinggallah Yesus di Yerusalem tanpa diketahui orang tua-Nya. 2:44 Karena mereka menyangka bahwa Ia ada di antara orang-orang seperjalanan mereka, berjalanlah mereka sehari perjalanan jauhnya, lalu mencari Dia di antara kaum keluarga dan kenalan mereka. Teks ini memberikan gambaran bagaimana bunda Maria, Yosef, dan Yesus juga berziarah ke Yerusalem,” jelas Paijo.

“Ya itu terjadi karena memang mereka harus berdoa ke Bait Allah. Dan satu-satunya tempat doa mereka adalah bait Allah,” tegas Yanti

“Iya, Benar. Mereka berdoa karena tidak ada tempat lain kecuali Bait Allah. Namun perjalanan mereka menuju ke Yerusalem itu membutuhkan waktu perjalanan. Perjalanan mereka ke rumah sampai ke bait Allah membutuhkan waktu harian, itulah perjalanan dan itulah peziarahan. Hanya bedanya dengan kita, intensi dan makna peziarahan,” jelas Paijo.

“Ziarah itu sebuah laku tapa rohani di mana manusia ikut perjalanan dalam suka dan duka. Ziarah ke gua Maria ini adalah bentuk laku tapa juga. Kebetulan gereja mengajarkan kepada kita berziarah dan penghormatan kepada Bunda Maria. Maria mendapat tempat khusus dalam gereja Katolik. Demikian juga Maria dulu juga ziarah ke Yerusalem, menemami Yosef dan Yesus. Ini sebuah contoh kehidupan laku tapa itu,” tambah Paijo.

“Iya betul juga. Maria telah memberi contoh kepada kita bahwa kita supaya berani meninggalkan kenyamanan untuk berziarah dan berdoa. Kadang banyak orang mengeluh karena ziarahnya berat, tidak ada belanja, tidak bisa tidur nyenyak dll. Jadi mereka ziarah lebih menekankan kebutuhan jasmani dari pada kebutuhan rohani. Padahal tujuan utama kita ziarah itu adalah pengolahan hidup rohani dengan mengalahkan kehidupan jasmani,” timpal Menik.

“Nah itulah tantangan kita zaman sekarang. Kehidupan rohani sudah mulai pudar dan kita sudah sedikit menekankan kehidupan rohani sekalipun dalam ziarah,” kata Yanti menegaskan.

“Zaman telah berubah dan kehidupan rohani pun mulai berubah. Sayangnya berkembangan dunia tidak sejalan dengan perkembangan rohani. Buktinya masih ada perang di sana-sini. Ada kebencian antarmanusia dengan aneka motif, bahkan pembunuhan dengan alasan rohani. Semua itu gambaran betapa hilangnya nilai rohani itu. Menurut saya semakin tinggi nilai rohani kita, semakin tinggi pula rasa menghargai kehidupan. Semakin tinggi rohani kita semakin rendah nilai kebencian. Sementara dunia ini terjadi sebaliknya, berarti nilai rohani bisa terjadi sebaliknya pula,” seru Paijo.

“Jo, Paijo. Betul juga pendapatmu. Itu yang saya pikirkan juga. Kenapa kita masih saling membenci hanya karena perbedaan, di mana letak kasih itu. Bukankan buah-buah roh itu adalah, kasih, damai, sukacita seperti dikatakan santo Paulus,” seru Menik.

“Wuih, hebat juga kamu. Bisa mengutip ayat kitab Suci,” seru Paijo seraya tersenyum.

“Dunia berubah Jo, Paijo,” sahut Menik tersenyum.

“Yaaaa, betul. Ketika kita masih bersama di kampung, kita bisa melihat aneka tumbuhan dan juga binatang terutama burung-burung. Namun sekarang jarang sekali kita lihat. Itu terjadi karena manusia sudah tidak lagi harmonis kepada alam. Demikian juga alam telah hancur karena manusia. Kiranya relasi kita dengan orang lain hancur karena kita lebih menekankan ego. Kita tidak lagi mau menghargai alam dan orang lain. Akibatnya seperti tadi, terjadi pertikaian dan saling membunuh. Ziarah ini mengingatkan kepada kita untuk kembali kepada Tuhan, melalui Bunda Maria agar kita kembali menjalin hidup yang harmonis di dunia ini,” seru Paijo.

Perbincangan itu ternyata sampai sore, jadi kita pun akhirnya mengakhiri obrolannya. Kita beranjak dari tempat dan ingin kembali ke rumah.

“Menik, Yanti. Sudah sore. Mari kita pulang. Sebab aku naik sepeda,” seru Paijo.

“Baiklah jika begitu, kita pulang. Jo Paijo, Mau boncengin saya apa Yanti?” seru Menik godain Paijo.

“Iya Jo, Pilih saya atau Menik,” gantian Yanti menggoda sambil ketawa.

“Dah, saya sendiri saja. Kalian naik mobil. Oh ya, sampai kapan kalian liburan,” tanya Paijo

“Sampai Minggu depan Jo, Paijo. Kenapa?” tanya Yanti.

“Ya, sebelum pulang kita ketemu dulu dong, main di tempat biasa,” seru Paijo.

“Baiklah,” seru Yanti dan Menik serentak.

Akhirnya kami pun berpisah dan saya pun mengayuh sepeda seorang diri. Tidak beberapa lama, ada mobil memberi klakson kencang sekali, sampai saya kaget.

“Teeeeeetttt,” seru klakson itu kencang.

“Dah Paijo, sampai ketemu besok lagi,” seru Yanti dan Menik dari dalam mobil.

“Dahhhhh,” seru Paijo membalas Yanti dan Menik seraya melambaikan tangan dengan melepas stang sepeda secara spontan.

“Gedubrak,” seru sepeda Paijo jatuh ke tepi jalan karena nabrak batuk kecil.

“Aduhhhhh,” seru Paijo kesakitan.

“Jo, Paijo. Setiap ketemu Menik dan Yanti, konsentrasi buyar. Mentang-mentang wong deso naik sepeda lepas stang, jatuh dehhhhh,” seru Paijo dalam hati. Sementara Yanti dan Menik dah jauh meninggalkan karena mobil berjalan kencang.

“Jo, Paijo, nasibmu Jo,” seraya bangun dan meneruskan naik sepeda pulang.

(RD Jatmiko)

Leave a Reply

Top