Lukas 1:38
“Dixit autem Maria: Ecce Ancilla Domini, Fiat Mihi Secundum Verbum Tuum”
Mei adalah bulan penuh dengan kegembiraan iman, setidaknya setiap hari, gua Maria didatangi banyak orang untuk berdoa. Devosi kepada Bunda Maria tampaknya tidak pernah luntur dari waktu ke waktu. Maria menjadi model setiap orang beriman mengikuti Yesus. Tertera dalam aktivitas banyak umat yang senantiasa berdevosi kepada Bunda Maria, setidaknya pada Mei dan Oktober. Hadirnya peziarah ke berbagai gua Maria itu menjadi fenomena bahwa ada kesungguhan hati untuk selalu bersama Maria mengarungi kehidupan menggereja.
Para ziarah itu tidak hanya hadir pada siang hari saja, selama 24 jam mereka hadir silih berganti. Umat beriman datang tanpa henti dan khusuk berdoa dengan membawa intensi masing-masing. Tersedia pula tempat pembakaran intensi dekat gua Maria itu. Dengan sendirinya, setiap orang yang membawa intensi tertulis datang ke tempat itu selepas doa dan membakarnya, entah untuk dirinya sendiri atau titipan dari orang lain yang ingin didoakan melalui Bunda Maria. Kehadiran gua Maria di kampung itu tidak hanya membuka pintu iman bagi yang percaya, tetapi juga membuka pintu persaudaraan dengan lingkungan. Setidaknya mereka dilibatkan dalam aneka dagangan, sehingga para peziarah dipermudah dalam hal akomodasi.
Malam 1 Mei gua Maria dekat kampung saya itu sudah berbenah diri menyambut para peziarah. Saya pun juga ingin bersama teman-teman berjaga dalam doa di tempat itu. Bermodal keberanian, kami menuju gua Maria sore menjelang 1 Mei. Kami mempunyai niat sendiri-sendiri sekaligus ingin berjaga-jaga seharian di gua Maria itu. Setidaknya ikut menyongsong permulaan awal Mei dengan suka cita bersama Maria.
Kami berempat pergi bersama menuju gua Maria itu dengan mengayuh sepeda seperti biasanya. Setelah minta izin orangtua, kami berangkat ziarah sakaligus tirakatan di gua Maria. Dengan bekal seadanya, kami mulai mengayuh sepeda dengan senang hati. Suasana ceria menghantar kami menuju ke gua Maria di sore hari itu. Matahari masih menyinari dengan warna kekuningan serasa memanjakan kami untuk tekun berziarah.
Dua jam tidak terasa kami mengayuh sepeda hingga sampai di pelataran parkir gua Maria. Terlihat berbagai macam mobil dengan aneka pelat nomor mobil dari macam daerah berjajar di parkiran itu. Sementara kami menggunakan plat sepada onthel dengan sebutan sepeda kebo, alias sepeda kuno yang sudah banyak ditinggalkan orang. Sepeda itu kami sandarkan di ujung dekat pagar dan dikunci menjadi satu, jadi biar aman. Ternyata masih ada rasa kekhawatiran jika sepeda hilang, sekalipun di gua Maria.
Selepas menyandarkan sepeda, kami berempat menuju gua Maria untuk sejenak rosario dan doa pribadi. Kami berdoa di antara kerumunan peziarah yang akan mengikuti misa pembukaan pukul 24.00 di gua Maria ini. Selesai doa masih ada waktu untuk menunggu pukul 24.00. Di dekat gua Maria itu ibu-ibu Wanita Katolik telah menyiapkan makanan ala kadarnya dan minuman hangat. Semua orang boleh mengambilnya tanpa dipungut biaya. Namun, jika ada yang mau memberikan sumbangan juga tidak ditolak. Kami pun tidak tertinggal untuk ambil bagian dalam soal makan. Apalagi perut sudah bunyi berkali-kali ketika berdoa tadi, itu pertanda minta diisi agar badan fit kembali untuk mengikuti pembukaan bulan Maria pada awal Mei ini.
“Bu, terima kasih ya, makanan dan minungan hangatnya,” seru Paijo kepada ibu pengurus WK itu.
“Sama-sama nak. Ini adalah berkah kita semua jadi harus selalu membagikan,” jawab Ibu Pengurus.
“Ngomong-ngomong adik-adik ini dari mana?” tanya ibu pengurus.
“Saya dari kampung sana bu, jauh dari tempat ini. Kami berempat naik sepeda selama 2 jam,” seru Paimin menimpal pembicaraan sekalipun masih mengunyah makanan.
“Iya, bu. Ini kami berempat,Paijo, Paimin, Paino, dan saya Parjo,” jawab Parjo memperkenalkan diri.
“Ohhhh, baik sekali. Niat kalian luar biasa, berziarah bersama jauh-jauh naik sepeda sementara yang lain naik mobil,” seru ibu pengurus WK itu.
“Maaf, nama ibu siapa?” tanya Paijo menyela.
“Oh, saya Ibu Tuminem, ini Ibu Tumini, yang buat jahe hangat ini Ibu Tukirah dan masih banyak yang juga membantu kami,” jawab Bu Tuminem sebagai ketua pengurus.
“Wahhhhh, baik sekali pelayanan ibu. Semua dijalankan dengan penuh kasih sayang tanpa mengeluh,” seru Paino ikut nimbrung seraya minum jahe panas.
“Ibu maaf, ibu-ibu Wanita Katolik ini membuka diri dengan memberikan makanan dan minuman kepada semua peziarah secara sukarela, apakah itu tidak kekurangan?”tanya Paijo.
“Nak Paijo, Tuhan telah memberikan anugerah melimpah kepada kami, baik kesehatan maupun rezeki. Jadi seberapa pun kita mempunyai jika hati kita merasa kurang pasti kita akan kekurangan. Namu, jika kita merasa cukup, sekecil apa pun kita tidak merasa kekurangan. Jadi hendaklah kita belajar berbagi,” seru Bu Tuminem yang sangat bijak itu.
“Baik sekali itu ibu, bisa menjadi pengalaman berharga bagi kami. Di gua itu ada tema tertulis ‘Ecce Ancilla Domini, Fiat Mihi Secundum Verbum Tuum’. Maksudnya apa?”tanya Paijo lebih ingin tahu.
“Nak Paijo itu semboyan bunda Maria yang selalu menjadi semboyan hidup pelayanan kami WK di sini. Aku ini hamba Tuhan terjadilah padaku seturut sabdamu. Kalimat itu yang memberikan inspirasi bahwa kami juga harus siap menjalani kehendak Tuhan dengan melayani kepada para peziarah yang membutuhkan bantuan kami terutama yang kehausan dan kelaparan. Kami tidak memungut biaya, tetapi ada saja peziarah yang memberikan rezekinya dan kami mengembalikan lagi dengan cari ini,” seru Bu Tuminem dengan bangga.
“Wah luar biasa semangat Maria telah merasuk dalam diri umat di sini terutama menjadi spiritualitas Ibu-ibu WK” seru Paijo
“ Iya nak Paijo, kita harus menanamkan sikap untuk selalu sedia akan kehendak Tuhan dengan menjalankan tugas kita sehari-hari sekecil apa pun. Sekalipun hanya sebagai penggembala kambing, nak Paijo telah ambil bagian dalam karya itu. Setidaknya tukang sate kambing kan membutuhkan kambing nak Paijo, heee,” seru Ibu Tuminem dengan tertawa tanda sudah menerima kami dengan suka cita.
“Terima kasih ibu-ibu. Waktu yang singkat tetapi kami dapat menerima pelajaran berharga. Tuhan telah memberikan kita kesempatan untuk ambil bagian dalam berkarya di dunia ini seperti Bunda Maria telah memberikan teladan kepada kami. Kami akan merapat ke gua Maria untuk ikut misa pembukaan bu. Banyak umat sudah datang memenuhi pelataran gua Maria,” seru Paino seraya mengajak kami segera bergabung dengan mereka.
Pukul 24.00 pun berdentang, kami para peziarah memulai misa pembukaan di gua Maria itu. Suasana penuh kerinduan ketika manusia mendambakan sentuhan Tuhan melalui doa bersama Maria. Misa pembukaan ini awal membuka hati kita yang tertutup kepada kehendak Tuhan agar kita ikut berbagi rasa dengan sesama. Hal itu telah ditampilkan oleh ibu-ibu WK yang memberikan makanan dan minuman secara cuma-cuma bagi para peziarah. Cara Tuhan berkarya, cara manusia menanggapi kehendak-Nya seperti Maria telah memberikan teladan ‘aku ini hamba Tuhan terjadilah padaku seturut sabdamu”.
Misa hampir dua jam misa baru selesai, tetapi mereka tidak langsung pulang. Ada yang masih meneruskan doa pribadi, ada pula yang mampir ke tempat ibu-ibu WK yang menawarkan aneka makanan kebun untuk mengusir dinginnya pagi itu. Demikian juga, kami ikut ambil minum hangat dengan cemilan. Segera setelah itu, kami menuju tempat lega untuk sedikit meluruskan badan yang mulai penat. Dekat gua itu ada aula terbuka yang bisa digunakan untuk melepaskan lelah sebentar. Demikian kiranya tempat itu kami gunakan duduk-duduk sambil berbincang, ada pula yang tiduran.
Ayam mulai berkokok pertanda pagi mulai merekah. Kami pun segera mempersiapkan diri untuk pulang naik sepeda. Sebelum pulang kami pamitan kepada ibu-ibu WK yang telah memberikan makanan. Ibu Tuminem dengan sigap membungkus makanan untuk bekal di jalan.
“Nak Paijo dan teman-teman, selamat jalan. Ini ada sedikit makanan untuk bekal. Jangan lupa kembali lagi berdoa ke sini, Bunda Maria selalu menanti kalian untuk berdoa,” seru Bu Tuminem
“Baik, bu, terima kasih,” seru kami serempak
Segera kami mengambil sepeda dan mulai mengayuh menuju rumah. Rasa kantuk mulai muncul saat mengayuh sepeda. Agar suasana tidak terasa ramai, kami pun mengambil jalan pintas yang sepi, tetapi harus menelusuri sawah-sawah di mana padi mulai menguning. Bahkan sesekali kami harus melewati pematang sawah yang biasa pak tani lalui. Suasana itu semakin mengantarkan kami pada suasana yang sangat gembira.
“Byurrrrrr,” terdengar suara orang jatuh di air. Ternyata Paijo kecemplung aliran sungai di pematang itu. Rasa kantuk mengantarkan kepada air di pesawahan itu. Kami pun tidak bisa menahan ketawa, melihat Paijo basah kuyup.
“Wahhhhhh, harus berani Ecce Ancilla Domini, Fiat Mihi Secundum Verbum Tuum,” seru Paijo sambil nyengir heeeee.
“Jo, Paijo. Tuhan tahu kamu jarang mandi, mirip kambing-kambingmu. Jadi hari ini kamu mesti mandi,” seru Paino sambil ketawa diikutin Paimin, dan Parjo.
(RD Jatmiko)