![]()
2 Korintus 12:2 “Aku tahu tentang seorang Kristen; empat belas tahun yang lampau — entah di dalam tubuh, aku tidak tahu, entah di luar tubuh, aku tidak tahu, Allah yang mengetahuinya — orang itu tiba-tiba diangkat ke tingkat yang ketiga dari sorga”
Setiap 2 November Gereja Katolik mendoakan arwah umat beriman. Doa ini senantiasa dinantikan oleh banyak umat Katolik karena mereka percaya melalui doa umat beriman, jiwa-jiwa umat beriman akan meringankan. Gereja senantiasa mendoakan arwah umat beriman setiap kali merayakan Ekaristi. Hal ini menjelaskan betapa penting mendoakan arwah umat beriman. Banyak orang membatasi doa arwah sampai 3 tahun. Namun Gereja tidak pernah membatasi doa arwah, sebab dalam Kitab Mazmur 90:4 dijelaskan,” Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin, apabila berlalu, atau seperti satu giliran jaga di waktu malam”. Kita tidak mengetahui secara persis perjalanan saudara-saudari yang telah meninggal itu. Maka doa itu senantiasa harus selalu dikumandangkan.
Pagi itu tepat 2 November, kebetulan jatuh pada Sabtu. Gereja mengadakan misa khusus untuk mendoakan arwah umat beriman. Setiap keluarga boleh membawa foto saudari-saudaranya yang meninggal dan bunga untuk ditaruh di depan altar untuk didoakan dalam ekaristi kudus. Banyak umat datang ikut merayakan ekaristi kudus, sekalipun pagi hari. Pada umumnya, misa harian hanya dihadiri oleh 10 orang saja. Mengingat Sabtu ini memperingati hari arwah maka banyak orang ikut merayakan ekaristi kudus.
Selesai ekaristi, umat mengambil foto yang ditaruh di depan altar, sekaligus mengambil bunga yang akan ditaburkan di makam. Paijo pun tidak ketinggalan ikut dalam ekaristi. Nampaknya, Paijo tidak menampilkan diri seperti biasanya. Hatinya seperti sedang pilu mengingat Simboknya yang selalu menemaninya. Keceriaan Paijo tidak terpancar seperti biasanya, sebaliknya Paijo lebih banyak hening seraya berdoa dalam hati untuk mendoakan Simbok, Bapak, dan saudara-saudari yang telah mendahului.
Paijo pun mengambil bunga mawar yang tadi diletakkan di depan altar. Bunga mawar dipetik Paijo dari kebon. Simbok sendiri menanam bunga itu saat masih hidup. Kini Simbok kembali akan menikmati hasil tanaman melalui Paijo. Tanpa banyak bicara, Paijo segera pergi ke makam Simbok seraya berdoa dalam hatinya. Sesampai di makam Paijo juga mendoakan Bapak dan Kakek-Nenek. Bunga mawar ditaruh di pusaran dan Paijo pun mulai hening untuk berdoa. Pada Sabtu pagi itu, banyak orang Katolik berdoa di makam yang sama. Mereka sengaja pulang dari berbagai kota untuk pergi ke makam.
“Joooo, Paijo,” sapa dari seseorang dari samping kirinya secara lembut.
Sapaan itu tidak membuat Paijo membuka matanya, ia tetap berdoa dengan khusuk untuk kebahagiaan kebal Simbok, Bapak, dan Nenek moyangnya.
“Jo, Paijo,” sapa seseorang lagi dengan suara yang beda.
Sapaaan kedua itupun tidak membuat doa Paijo berhenti. Justru terlihat Paijo semakin kuat berdoa. Paijo terpikir ada dunia lain yang sedang mengganggu maka dia berdoa semakin intens akan terhindar dari godaan suara yang menembus telinga kanan dan kiri secara bergantian.
Setelah sekian lama, akhirnya Paijo mulai rileks karena tidak lagi terdengar suara yang memanggil dari kiri dan kanan secara bergantian. Paijo pun mulai membuka mata pelan-pelan. Saat membuka mata, betapa terkejutnya. Yanti dan Menik sudah ada di belakangnya dari tadi.
“Ahhhhh, kamu Yanti dan Menik,” seru Paijo sambil tersenyum. Kini keceriaan Paijo kembali terlihat sekalipun belum sepenuhnya. Setidaknya kehadiran sobatnya telah memberikan kekuatan tersendiri selepas ditinggal oleh Simbok.
“Maaffff, Yanti dan Menik, saya kira tadi suara dunia lain memanggilku. Maklum kita sedang terbius dengan FILM Kuasa Gelap. Jadi saya terbawa suasana ketakutan,” seru Paijo sambil tersenyum-senyum.
“Ahhhh, kamu Paijo. Itu kan Film, masa kami disamakan dengan dunia gelap,” seru Menik saraya mukul Paijo seraya bercanda.
“Hmmmmm. Maaffff, maaf, namanya juga terobsesi Film,” seru Paijo seraya ketawa ringan dengan tetap menahan rasa sedih mendalam.
“Jo, Paijo. Kita semua akan mengalami kematian seperti saudara-saudara kita ini. Bukankah dengan baptis kita otomatis masuk surga, ya Jo, Paijo,” kata Yanti sambil memegang nisan simbok.
“Yanti, Menikkkk. Saya menggambarkan begini. Baptis itu ibarat sebuah asuransi jiwa. Namun setiap orang yang mempunyai asuransi harus membayar preminya. Sama artinya orang yang dibaptis itu harus selalu membayar preminya dengan tindakan kehidupan yang baik. Siapa tahu saat orang Katolik meninggal belum ada dalam situasi pertobatan yang total. Oleh karena itu, doa arwah ini memohon belas kasih Allah jika saudara kita yang belum memenuhi kualitas kekudusan bisa segera diberikan. Kasarnya kita harus membayarkan preminya dengan doa,” jawab Paijo.
“Wuihhhh, bener juga analogimu Jo, Paijo. Apakah itu yang disebut purgatory?” tanya Menik.
“Menurut pendapat saya ‘Purgatory itu sebuah masa dimana seseorang disucikan sebelum masuk dalam kemuliaan kekal’. Santo Paulus mengajarkan bahwa perjalanan ke surga itu ada tingkatannya. Paulus diberi penglihatan sampai tingkat ketiga. Artinya ada tingkatan-tingkatan yang harus dilalui setiap arwah umat beriman menuju kepada Allah. Pultatori adalah proses pemurnian masuk dalam tahapan itu,” seru Paijo.
“Hmmmmm, yaaa, kini saya paham kenapa orang Katolik sangat meyakini doa arwah itu penting bahkan selalu jiwa-jiwa selalu didoakan setiap kali merayakan ekaristi. Saya ingat tertulis dalam 1 Petrus 1:7 Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu — yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api — sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Teks ini mengingatkan saya bahwa jiwa-jiwa harus selalu disucikan di purgatory. Doa umat beriman akan membantu untuk menyucikan,” seru Menik dengan suara yang lembut sehingga suasana kembali menjadi hening di makam itu.
“Hmmmmmm, mulai pada melo,” seru Yanti memecahkan suasana.
“Ayo, kita pulang,” ajak Paijo.
Sebelum pulang mereka berdoa bersama di depan makam Simbok. Persahabatan mereka bertiga tidak berhenti pada saat suka, justru pada saat duka karena ditinggal sanak saudaranya mereka selalu hadir.
“Mbokkk, Pulang dulu ya, Ad Vitam Aeternam,” seru Paijo seraya meninggalkan makam bersama Menik dan Yanti.
Penulis: RD Nikasius Jatmiko | Editor: Bernadus Wijayaka