Anda di sini
Beranda > Artikel > ‘New Normal’ Keuskupan Bogor Diundur, Harus Menunggu Berapa Lama Lagi?

‘New Normal’ Keuskupan Bogor Diundur, Harus Menunggu Berapa Lama Lagi?

Loading

Kebijakan pelayanan Perayaan Ekaristi di Keuskupan Bogor dalam masa normal baru kembali ditinjau. Melalui surat bernomor 040/SKB/VI/2020 dengan mempertimbangkan surat Gubernur Jawa barat (No. 460/2688/Hukham) yang memperpanjang pemberlakuan PSBB secara porposional untuk wilayah Bogor, Depok, dan Bekasi sampai Selasa (2/7) mendatang, maka Bapa Uskup Paskalis Bruno Syukur memutuskan untuk mengundur Perayaan Ekaristi yang dibuka untuk umat hingga Minggu (5/7).

Surat tersebut juga kembali mengimbau paroki-paroki untuk mempersiapkan protokol kesehatan yang ketat, jadwal pelayanan Ekaristi, dan sosialisasi kepada umat secara menyeluruh. Lalu sampai kapan umat harus menunggu? Haruskah Gereja segara dibuka untuk misa bersama umat di tengah Pandemi Covid-19 yang terbilang konstan penambahan kasusnya setiap hari?

Vikaris Judisial Keuskupan Bogor RD Yohanes Driyanto membahas hal tersebut bersama dengan Frater Petrus Damianus Kuntoro dalam Ruang Tatap Muka perdana yang diselenggarakan oleh Komsos BMV Katedral, Sabtu (13/6) malam. Ruang Tatap Muka bertajuk “Tatanan Baru Hidup Menggereja, Siapkah Kita?” disiarkan secara live streaming melalui kanal Youtube BMV Production.

Perayaan Ekaristi Sumber dan Puncak, Tetapi Bukan Satu-Satunya

Mengawali talkshow online tersebut, Romo Dri sapaan akrab RD Yohanes Driyanto menjelaskan bagi orang beriman ada tiga hal yang harus dilakukan sebagai satu kesatuan untuk menghayati imannya.

“Pertama, mewartakan iman bentuknya adalah kotbah dan katekese. Kedua adalah merayakan iman bentuknya adalah ibadat. Utamanya liturgi seperti liturgi sakramen dan liturgi harian, bentuk lainnya adalah doa-doa, seperti praise and worship yang biasa dilakukan oleh persekutuan doa, Taize, Rosario, dan Jalan Salib bersama. Sebagai sumber dan puncaknya adalah Perayaan Ekaristi. Ketiga yakni mewujudkan iman artinya mengungkapkan atau menyatakannya lewat pemikiran, sikap, dan tindakan sehingga dapat dipahami dan dirasakan dalam kehidupan konkret sehari-hari,” jelasnya.

Di antara tiga hal itu, perayaan iman terutama Perayaan Ekaristi adalah yang paling tampak karena selalu melibatkan banyak orang pada tempat dan waktu yang sama. Pandemi Covid-19 yang membuat Perayaan Ekaristi tidak dapat dilakukan secara langsung di gereja membuat umat tidak hanya merasa ada bagian yang hilang tetapi betul-betul kehilangan diri.

Kemudian seberapa penting Perayaan Ekaristi dalam masa pandemi ini? Romo Dri memaparkan Perayaan Ekaristi memang sumber dan puncak tetapi bukan segalanya. “Ibarat sumber air, pastilah sangat ideal apabila orang dapat langsung mengambil air dari situ. Tetapi dapat dan boleh saja dengan alasan tertentu orang mengambil di tempat lain yang bukan sumber tetapi ada airnya. Sebagai puncak, tentu setiap orang bangga atau gembira apabila sampai ke sana. Tetapi, baik diingat atau disadari bahwa ada dasar atau tingkatan yang harus dilewati sebelum sampai ke yang paling atas itu,” papar pria kelahiran 2 Desember 1963 itu.

Ia melanjutkan, ada juga cara pengudusan lain yaitu liturgi harian (Doa Ofisi atau Brevir), doa-doa, perbuatan tobat, praktek kesalehan, dan amal-kasih.

Romo Driyanto menjelaskan 4 prinsip yang menjadi pertimbangan pembukaan aktivitas hidup menggereja. Foto: Leonardus Evan

Sampai Kapan Umat Harus Menunggu?

Melalui kolom live chat umat banyak orang yang bertanya kapan sebaiknya gereja dibuka dan umat bisa misa bersama kembali? Romo Dri tidak secara langsung memberikan rekomendasi kapan sebaiknya gereja dibuka, tetapi setidaknya ada 4 prinsip yang harus menjadi pertimbangan untuk memutuskan hal tersebut.

Pertama, hidup itu yang utama.  Apa pun yang berlawanan atau mengancam hidup kehilangan nilainya dan harus dikalahkan. Secara umum di dunia ini tidak ada sesuatu yang lebih bernilai dari hidup itu sendiri sehingga tak boleh hidup itu dikorbankan untuk yang lainnya. “Apabila sebuah kondisi jelas, masuk akal, dan objektif membahayakan atau mengancam hidup, Perayaan Ekaristi itu menjadi kurang bernilai dan sebaiknya tidak dilakukan,” ungkapnya.

Kemudian, kebaikan umum (bonum commune) harus dijunjung tinggi. Memang benar Perayaan Ekaristi akan memenuhi kerinduan dan kebutuhan sendiri atau sekelompok orang, tetapi kalau mencederai kebaikan umum, Perayaan Ekaristi itu harus dikalahkan. 

Selanjutnya, kewajiban itu mengikat orang/komunitas yang normal dan dalam keadaan normal. Ketika orang sedang menderita sakit, kewajibannya ke gereja tidak lagi mengikat. Apabila terjadi badai, kewajibannya ke gereja juga tidak berlaku, sama seperti saat wabah Pandemi Covid-19 yang menyerang hampir seluruh dunia, maka kewajiban untuk ke gereja tidak mengikat.

Terakhir, hukum tertinggi adalah keselamatan jiwa (salus animarum suprema lex). Di atas keselamatan jiwa tidak ada lagi hukum, norma, hak, dan kewajiban. Karena itu, ketika keselamatan jiwa dipertaruhkan hal-hal lain termasuk sakramen yang merupakan tanda dan sarana tidak harus dilakukan. Sebagai pembanding, dalam pengadilan terakhir ternyata bukan perayaan iman yang menentukan kehidupan kekal tetapi perwujudan iman dalam kehidupan sehari-hari  (bdk. Mt 25, 31-46).

Pada akhirnya iman harus tetap ditumbuhkembangan dengan berbagai cara lain yang bisa dilakukan walau harus #dirumahaja. Percayalah kondisi ini hanya sementara dan pada saatnya nanti umat dapat kembali beribadah bersama-sama di gereja.

(AJ)

Leave a Reply

Top