Yakobus 2:20
Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?
Malam itu terang rembulan seperti mengundang setiap orang untuk bercengrama bersama di lapang kosong dekat balai desa. Setiap orang tertarik bermandikan bulan manakala bersinar dengan indahnya. Bertebaran bintang menghiasi pula suasana kampung itu dengan rasa ingin berlama-lama bersama sang alam. Teriakan anak-anak sejak sore telah memberikan warna untuk menyambut sang rembulan. Sementara anak-anak muda baru mulai muncul setelah rembulan itu kian ke atas dan menyinari lapangan itu dengan sinar yang indah.
Ada sebagian anak sudah meninggalkan tempat, namun ada pula sebagian yang masih bertahan ikut bermain meramaikan suasana. Kebetulan lagi besok hari libur, saat yang tepat mereka menghabiskan waktu bersama di tempat itu. Mereka bergerombol seturut usianya, bermain dan bercengkrama dengan riang di bawah sinar terang rembulan. Alam nampaknya menyapa untuk memberikan sesuatu yang indah bagi semua orang. Bulan memberikan sinar kepada semua orang tanpa terkecuali. Bulan tidak membeda-bedakan ketika bersinar, semua mendapat keindahan yang sama.
Begitu pula alam itu tercipta untuk semua manusia tanpa terkecuali, namun sering kali manusia lupa menempatkan itu. Alam tidak membeda-bedakan semua orang, tetapi alam memberikan kepada semua orang tanpa terkecuali. Terikan anak-anaak bermain itu simbol kebahagian alam pula. Mereka bermain tanpa sekat-sekat agama, ras, dan status. Bahkan pria wanita pun bermain bersama tanpa canggung. Demikian kami pun bercengkrama dengan teman-teman di bawah sinar bulan purnama.
“Jo, Paijo, malam ini alam sangat harmoni, indah, dan enak kita nikmati. Anak-anak bermain-main dengan gembira di dalam terang rembulan. Mereka tidak membedakan satu dengan yang lain, itulah keserasian ya, Jo,” kata Paimin memulai percakapan di malam itu.
“Iya, Min, Paimin. Itu adalah sebuah perwujudan iman,” seru Paijo.
“Wahhhh, maksudnya apa. Kan mereka berbeda keyakianan?” tanya Parno ikut menimpal diskusi itu.
“Begini Lho. Kita semua memakai baju yang berbeda, namun fungsi baju itu sama, yakni melindungi tubuh kita,” seru Paijo.
“Iya, betul, tetapi apa hubungannya dengan iman,” tanya Paimin semakin intensif seakan menyerang Paijo.
“Heeee, ah gitu saja BAPER,” jawab Paijo dengan Bahasa Kids Jaman Know.
“Iman itu saya ibaratkan baju. Semua fungsi baju sama yakni melindungi tubuh, namun bentuknya bisa beda. Demikian juga iman bisa berbeda, namun fungsi iman kita mendekatkan diri kepada Allah,” seru Paijo.
“Ohhhhh, ya. Jo, Paijo. Betul juga cara berpikirmu, wong deso, tetapi cara mikirmu oke juga,” seru Paimin seraya meledeknya heeeee.
“Jo, Paijo. Kenapa jaman sekarang orang sangat alergi jika ketemu beda keyakinan. Kita sering melihat pertikaan karena keyakinan. Padahal kita itu semua sama di hadapan Allah?” Tanya Parno seperti penasaran.
“Itulah mereka baru sebatas meyakini, tetapi tidak mengaplikasikan dengan benar. Kita dalam hal itu mesti belajar dari anak-anak itu. Saya kira iman mereka lebih dalam dari pada kita ini. Mereka bermain berbaur tanya sekat-sekat. Sementara kita sering lihat pertikaian karena perbedaan, ini bertolak belakang,” jelas Paijo dengan semangat.
“Iman itu akan sia-sia atau dikatakan mati, jika tidak diamalkan dalam kebaikan dan kedamaian,” seru Paijo lagi.
“Bener juga ya Jo, Paijo. Kenapa perbedaan itu membuat kita sering kali berselisih. Padahal anak-anak itu memberikan contoh nyata bagi kita betapa indahnya kebersamaan tanpa membedakan satu dengan yang lain. Bulan itu pun juga tidak pilih kasih menyinari kita, semua kena sinar indahnya sama rata,” seru Paimin agak sedikit melo, heee.
“Inilah tugas kita, yakni memberikan kesaksian hidup, sekalipun kita berbeda keyakinan harusnya kita tetap menjalin persahabatan. Itulah yang saya sebut perwujudan iman. Iman harus kita nyatakan secara konkrit dalam persahabatan ini,” seru Paijo dengan senang.
“Jadi mari kita bina persahabatan itu dengan mengamalkan iman kita dengan perbuatan baik,” Jelas Paijo dengan semangat terhadap teman-teman di kampung itu.
Setelah lama dan malam mulai agak larut. Kami pun membubarkan diri dan pamit satu dengan yang lain. Kami segera pulang ke rumah masih masing-masing.
“Tolong-tolong,” terdengar Paijo kembali lari menuju teman-temannya.
“Ada apa Jo, Paijo?” tanya Paimin dan Parno yang segera menghampiri suara itu. Karena mereka belum jauh berpisah dari nongkrong bareng tadi.
“Ahhhh, ahhhhh, aaahhh,” seru Paijo gagu, tidak bisa berkata.
“Sabar-sabar, hela nafas sebentar,” Pinta Paimin.
“Ada hann, hannnntuu,” seru Paijo masih gagap
“Ahhhhhh, hantuuuuuu,” seru Paimin dan Parno serentak.
Akhirnya mereka pun bertiga berlari menuju tempat jaga ronda. Tukang jaga pun merasa kaget kedatangan kami bertiga. Kami menceritakan bahwa ada hantu. Akhirnya mereka pun berkumpul ramai ramai. Tidak selang lam ada seorang datang ke Pos Ronda itu.
“Ada, apa pada lari, lari?” tanya mbah Mitro.
“Ohhhhhh, Mbah Mitro pakai sarung dan pakaian serba putih, saya kira hantu mbahhhh,” Seru Paijo sambil malu.
“Jo, Paijo. Kamu itu sudah gede masih penakut. Kamu juga Paimin dan Parno. Bagimana kamu mau ikut menjaga kampung ini jika kalian masih penakut,” seru Mbah Mitro.
“Jadi orang harus kuat imannya,” nasehat mbah Mitro.
“Iya Mbah,” seru kami sereantak
“Mbah kan Para rasul juga pernah takut hantu,” seru Paijo membela diri sambil tersenyum.
“Dah sana pulang dah malam, jangan lupa berdoa sebalum pulang. Saya mau siskamling malah dikira hantu,” seru Mbah Mitro sedikit agak jengkel.
“Iya mbah,” seru kami bertiga seraya meninggalkan tempat ronda diriringi ejekan para tukang ronda sambil ketawa haaaaaaaaa.
“Jo, Paijo, dasar wong deso penakut kok permanen,” seru Paijo dalam hati seraya pulang menuju rumah.
(RD Nikasius Jatmiko)