Anda di sini
Beranda > Artikel > Merawat Orangtua, Surga di Depan Mata

Merawat Orangtua, Surga di Depan Mata

Loading

Tak bisa dipungkiri, seiring bertambah usia kemampuan dan daya tahan seseorang mengalami penurunan. Saat seseorang memasuki usia senja, tanpa diingini ia melakukan banyak kebiasaan mulai dari cara makan, berpakaian, dan pola hidup lainya yang dinilai tidak wajar atau merepotkan orang terdekatnya. Tak jarang pula karena kesalahan itu, orang-orang lanjut usia mendapat “hukuman” dari orang-orang yang dikasihinya. Sudah tepatkah kita merawat dan mendampingi orangtua kita? Apakah yang kita lakukan terhadap orang tua sudah sebanding dengan apa yang ia berikan saat mengasuh dan membesarkan kita?

Jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia kian tahun kian bertambah. Itu karena usia harapan hidup orang Indonesia rata-rata mengalami peningkatan. Ambil contoh pada tahun 2010 jumlah lansia sebanyak 18 juta jiwa. Empat tahun kemudian atau tahun 2014, jumlahnya meningkat menjadi 20,8 juta jiwa, dan tahun 2015 jumlahnya mencapai 21,7 juta jiwa. “Rata-rata usia harapan hidup (UHH) orang Indonesia 70,1 tahun, ini berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010,” papar aktivis Center of Ageing Studies UI, Tri Suratmi dalam Seminar bertajuk Lansia yang digelar di Aula Pusat Pastoral Keuskupan Bogor, Sabtu (9/4).

Tri Suratmi melanjutkan, usia lansia dimulai saat seseorang memasuki umur 60 tahun. Terdapat perubahan yang terjadi pada proses menua tersebut seperti perubahan biologis (fisik) menyangkut perubahan sistem sel, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem jantung, pembuluh darah, sistem pernafasan, sistem genital (alat reproduksi), sistem hormonal, dan sistem pencernaan. “Proses alami yang merubah seorang dewasa sehat menjadi lemah secara perlahan-lahan karena menurunnya fungsi yang normal, mengakibatkan meningkatnya kerentanan,” tutur Tri.

Selain itu, terdapat perubahan yang terjadi pada proses menua yakni perubahan psikososial (psikis) seperti perubahan cara hidup, rasa kesepian, kehilangan status, pekerjaan, penghasilan, relasi dengan keluarga/teman, perubahan konsep diri, dan kesadaran akan kematian.

Selain dua jenis perubahan besar, juga terdapat perubahan lain pada proses menua yakni perubahan spiritual. “Perubahan kehidupan spiritual yang dipengaruhi oleh nilai yang dianut sesuai keyakinan dan budaya dimana lansia berada. Umumnya mereka makin mensyukuri kehidupan dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta,” ungkapnya.

Seminar tersebut juga menyinggung permasalahan yang dihadapi oleh lansia seperti gangguan mental, psikologis seperti kecemasan dan ketakutan. “Contohnya rasa cemas dan takut menghadapi ketidakpastian, sering mengenang masa lalu, suka bercerita panjang, dan diulang-ulang tentang kondisi masa lalu,” ujarnya.

7 Dimensi
Selain itu lansia juga rentan terkena dimensia, atau penyakit alzheimer yakni penyebab dimensia terbanyak. Alzheimer sering terjadi pada usia 65 tahun ke atas, namun tidak menutup kemungkinan terdapat kasus di bawah umur 65 tahun. “Penyebab alzheimer masih belum diketahui dengan pasti, hasil pencitraan otak menggambarkan bahwa adanya plak (timbunan protein beta-amyloid) dan masa jaringan protein tau. Memburuknya penyakit alzheimer berlangsung secara perlahan, 8-10 tahun. Para penderita alzheimer biasanya menunjukkan gejala seperti kesulitan untuk mencari kata-kata yang tepat ketika berbicara dan mudah lupa,” paparnya.

Lalu bagaimana solusi atas permasalahan lansia? Berbagai cara ditempuh agar di usia senja, lansia tetap tangguh. Hal itu menyangkut keaktifan lansia yang meliputi 7 dimensi, spiritual (misa), intelektual (belajar baca tulis/bahasa), fisik (senam lansia), emosi (menyanyi), sosial kemasyarakatan, lingkungan (peduli lingkungan), serta profesi dan vokasional (kegiatan vokasional). “Dukungan dari keluarga, anak-anak, kerabat, lingkungan sekitar, dan komunitas lansia akan membantu lansia mempertahankan dimensi tersebut,” tukas Tri.

(Jam)

Leave a Reply

Top