Anda di sini
Beranda > Mutiara Biblika > Amate Hostes Tuos

Amate Hostes Tuos

Loading

Lukas

“6:35 Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat”.

Hidup itu sebuah anugerah Allah yang tiada taranya. Manusia mendapat anugerah itu sekaligus mempunyai tugas mengisi kehidupan dengan penuh kasih. Ibarat musim selalu mengalami perubahan silih berganti, demikian hidup juga mengalami sebuah perubahan yang senantiasa ada dalam diri manusia.

Malam itu bulan purnama menyinari kampung dengan indah sekali. Menurut orang-orang tua, itu pas tanggal 15, Padahal penanggalan nasional baru awal bulan. Rasanya sulit dipahami bagi Kid zaman now untuk mengerti  perbedaan itu. Pengertian itu diberikan turun-temurun terdengar dari orang-orang tua, sekalipun sampai saat ini saya tidak mengerti bagaimana itu hitungan bisa berbeda. Intinya ketika bulan bersinar dengan bulat dan muncul sejak sore itu berarti tanggal 15. Itu penjelasan yang dapat kita terima dari orang-orang zaman dulu sampai sekarang.

Bulan itu telah bersinar seperti tersenyum mengajak setiap anak-anak bermain malam hari di bawah terang sinar bulan purnama. Mereka bermandikan sinar rembulan dan suara mereka terdengar di sana-sini. Namun, suara anak-anak dan senyuman bulan itu tidak menggugah saya beranjak di depan rumah seraya duduk di beranda.  Bulan itu seakan menyapaku untuk ikut tersenyum, karena sorot sinarnya sangat jelas bisa dilihat dari depan rumah. Terlihat pula bintang bertaburan di langit menambah semarak bahwa alam ikut bergembira bersama orang-orang di bumi.

Alam nan agung dan indah ternyata belum juga mampu merayuku untuk bisa tersenyum. Dalam kesendirian di beranda rumah,  suasana hati gundah tidak mau pergi. Keinginanan bercengkerama dengan teman-teman yang bermain di bawah terang bulan itu sekan sirna. Perasaan itu terus terbawa tanpa arah yang pasti. Dalam keheningan batin yang mendalam,  sesekali terdengar binatang malam berbunyi juga terdengar suara anak-anak bermain di lapang yang nan jauh itu. Suara itu menemani dalam keheningan di beranda rumah. Simbok tiba-tiba ikut datang dan duduk di sampingku.

Jo, Paijo. Ini ada ubi rebus dari kebon. Makan daripada ngalamun saja,” seru Simbok seraya duduk di samping Paijo.

Ahhhhhh, Simbok. Buat saya kaget saja,” jawab Paijo spontan.

Jo, Paijo. Dari tadi aku sudah ada dekat kamu, tetapi kamu tidak memperhatikan,” seru Simbok.

Heeeeee, oh gitu Mbok,” sahut Paijo singkat sambil tersipu malu.

Jo, Paijo. Kenapa Jo, sepertinya sedang galau?” tanya Simbok.

Cieee Cieeee, Simbok pakai bahasa gaul, ‘galau’,” seru Paijo.

Kan istilah itu  dengar dari kamu juga. Kenapa sih Jo, Paijo?” tanya Simbok.

Mbok, Simbok. Saya itu merasa kenapa teman-teman menjauh dan memusuhi saya. Kemarin pas ketemu di gereja, mereka seperti cuek tidak mau menyapa. Saya sudah sapa mereka duluan, tetapi mereka langsung pulang. Biasanya kita bercengkerama, atau minimal berbincang-bincang,” seru Paijo.

Jo, Paijo. Itu adalah hidup Jo. Sekarang kita bisa melihat sinar bulan purnama itu jelas. Lusa atau kapan, kita akan melihat malam akan gelap tanpa ada sinar bulan tampak. Apakah bulan itu berarti marah dengan bumi, kan tidak. Setiap alam ada regulasinya, demikian juga manusia itu ada masanya begitu, Jo. Paijo,” nasehat Paijo.

Perasaan jengkel, sedih, gundah dan apa saja sepertinya numplek di dalam diri saya Mbok. Sepertinya mereka sengaja memusuhi saya,” seru Paijo.

Jo, Paijo.  Coba belajarlah dari kambing-kambingmu itu. Tiap kali kamu membawa kambing-kambingmu itu ke padang, mereka menginjak-injak rumput, dan membuang kotoran di atas rumput itu. Sepertinya kambing itu tidak menghargai rumput itu. Rumput memberi kehidupan, tetapi diinjak-injak bahkan dikotori,” seru Simbok.

Mbok, kambing kan mesti begitu,” sahut Paijo.

Jo, Paijo. Ibarat rumput itu hidup kita. Kambing-kambing itu juga kehidupan lain. Mereka menginjak-injak dan membuang kotoran. Sepertinya itu adalah musuh hidup kita. Padahal kamu tahu Jo, Paijo. Kotoran itu justru membuat pupuk dan kesuburan bagi rumput itu. Kambing-kambing itu bukan hanya membuang kotoran, tetapi kambing-kambing itu memberikan kepada rumput untuk tumbuh subur,” sahut Simbok.

Wahhhhh, hebat juga Simbok ini,” seru Paijo seraya tersenyum.

Jadi seperti teman-temanmu tidak menyapa kamu bisa jadi itu menjadi pupuk rohani bagi hidupmu. Siapa tahu hidupmu mulai gersang dan tidak subur, makan kamu harus diberi pupuk seperti itu. Kan kambing itu tidak memberi pupuk semua rumput. Bisa jadi kambing itu memberikan secara bergiliran. Dalam hidup ini, siraman rohani atau pupuk rohani itu mesti kamu terima,” Seru Simbok dengan semangat.

Iya, Mbok, saya ngerti bingit,” seru Paijo.

Jo, Paijo. Jadi janganlah memusuhi orang yang tidak menyukai kamu, tetapi doakan saja. Justru kamu yang mesti merubah pola pikirmu. Jangan sampai kamu menyakiti orang, tetapi cintailah mereka dengan caramu. Ingat Jo, Paijo. Kambing-kambing itu seakan menjadi musuh, tetapi justru mereka memberikan pupuk yang baik untuk  tetumbuhan. Demikian hidup kita Jo, Paijo. Situasi hidup apa pun yang kita terima adalah pupuk rohani yang mesti kamu terima dengan senang hati,” seru Simbok.

Iya, Mbok, Simbok. Saya tidak membenci, justru saya mendoakan mereka kok Mbok,”seru Paijo.

Jo, Paijo. Ingat kotbah Pastur Belanda Minggu lalu. Amote Hostes Tuos, cintailah musuh-musuhmu,” seru Simbok

Iya, Mbokkk, siap,” senyum Paijo semakin lega.

Ketika sedang asik-asiknya bicara dengan Simbok, terdengar suara bangku patah. Bangku yang Paijo duduki patah dan Paijo jatuh ke belakang. Simbok pun hanya bisa tersenyum melihat Paijo terjatuh.

Jo, Paijo. Makanya dudukmu yang tenang, cintailah bangkumu juga Jo, Paijo. Jangan dirusak,” seru Simbok.

Iya Mbok,” terdengar suara Paijo lirih kesakitan sambil menahan ketawa.

Akhirnya bulan itu pun ikut ketawa bersama Paijo untuk mengakhiri malam yang indah bersama Simbok di beranda rumah.

Jo, Paijo. Dasar wong ndeso,” seru Paijo seraya masuk rumah menahan sakit jatuh dari kursi kayu yang diduduki.

(RD. Nikasius Jatmiko)

Leave a Reply

Top